I. PENDAHULUAN
Dalam tahun-tahun terakhir ini ekspor dari produk industri kerajinan dan mebel dengan bahan baku dari kayu terutama kayu jati semakin menurun jumlahnya, mengingat semakin sedikit pohon jati yang bisa ditebang. Perkembangan tersebut terutama terjadi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Pada saat ini hutan jati sedang dalam proses pembenihan atau penanaman kembali, yang diperkirakan baru dapat dipanen sekitar 30 hingga 60 tahun yang akan datang.
Di samping itu adanya ketentuan internasional mengenai Ecolabelling bahwa setiap produk yang menggunakan hasil hutan harus disertai persyaratan tebang pilih atau penanaman kembali jenis kayu yang dimanfaatkan. Kondisi ini juga menurunkan volume ekspor kerajinan dan mebel dari kayu hutan.
Dengan kondisi tersebut di atas tidak berlebihan jika ekspor produk kerajinan dan mebel perlu ditingkatkan kembali dengan produksi yang menggunakan kayu dari hutan industri maupun bahan baku lainnya yang mudah didapat dan murah.
Salah satu bahan baku yang cocok untuk produk kerajinan maupun mebel yang sangat mudah didapat dan murah berasal dari tanaman yang tumbuh di perairan yaitu Eceng Gondok juga dikenal dengan nama Bengok atau dalam bahasa latin disebut Eichornia Crassipes, dan dalam bahasa Malaysia disebut Keladi Bunting. Tanaman ini bisa ditemukan di setiap perairan, sungai, waduk, rawa di seluruh pelosok Nusantara dalam jumlah yang sangat banyak.
Industri kerajinan maupun mebel yang memanfaatkan eceng gondok memiliki daya saing yang tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Tenaga kerja yang berkecimpung dalam usaha ini dimulai dari “petani”, perajin tali, pengepul, penganyam, desainer, usaha kecil, usaha menengah sampai eksportir.
Disebut “petani” dalam tanda petik, mengingat orang-orang tersebut sebenarnya tidak bertani namun hanya sebagai pengambil eceng gondok.
Atau dengan kata lain, eceng gondok tidak dibudidayakan namun tetap dipelihara dengan memotong batang yang cukup umur. Pada akhirnya tanaman eceng gondok tersebut akan bertunas kembali. Eceng gondok yang dipanen oleh “petani” selanjutnya dijual kepada Pengepul atau Perajin tali eceng gondok. Oleh pengepul, eceng gondok basah dapat langsung dijual kepada industri kecil kerajinan. Sementara itu perajin tali eceng gondok bisa menjualnya kepada industri kecil, industri menengah produk kerajinan maupun mebel.
Dari hasil wawancara dengan para pelaku usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas, ternyata belum ada suatu hubungan kemitraan yang dikuatkan dengan Nota Kesepakatan Kerjasama. Hubungan bisnis di antara mereka merupakan hubungan dagang biasa, bahkan di antara pelaku yang setara bisa terjadi persaingan pasar yang sangat bebas. Artinya, siapa yang mempunyai kreatifitas serta mutu yang bagus, akan memiliki peluang yang lebih baik dibandingkan lainnya. Dengan demikian setiap pelaku usaha akan selalu berlomba untuk meningkatkan mutu, baik dalam kegiatan pelayanan maupun produk.
Untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas, maka tulisan ini akan mengulas berbagai aspek kelayakan usaha mulai dari “petani” hingga usaha kecil.
Aspek kelayakan usaha meliputi aspek pasar, aspek teknis produksi, aspek keuangan, aspek sosial ekonomi dan dampak lingkungan. Di samping analisis terhadap aspek kelayakan, diberikan pula berbagai saran kepada semua pihak terutama perbankan yang berminat membiayai proyek ini. Tulisan ini merupakan rangkuman hasil penelitian terhadap beberapa “petani”, perajin tali serta pengepul eceng gondok di Rawa Pening Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Juga kepada industri kecil dan usaha menengah kerajinan serta mebel eceng gondok di Kabupaten Bantul DI Yogyakarta serta Trangsan Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
II. ASPEK PEMASARAN
Penggunaan eceng gondok sebagai bahan baku produk kerajinan maupun mebel mulai dikenal sejak tahun 1990-an. Namun permintaan produk mulai meningkat pada tahun 1995. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 juga turut mempengaruhi permintaan produk ini. Pada saat ini pemasaran produk kerajinan dan mebel dengan bahan baku eceng gondok sudah mulai berkembang bersamaan dengan produk berbahan baku rotan, pelepah pisang, pandan dan sebagainya. Permintaan dari mancanegara terus meningkat sejalan dengan membaiknya situasi keamanan, politik.
Data dari Kantor Bank Indonesia Semarang tahun 2002 sd 2005 menunjukkan pertumbuhan ekspor produk kerajinan dan mebel yang dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok yakni Kayu, Barang dari Kayu, kemudian kelompok Jerami/Bahan Anyaman serta Perabot & Penerangan Rumah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.
Tabel 1
Pertumbuhan Ekspor Produk Kerajinan dan Mebel
Tahun 2002 sd 2005 (Februari)
Kelompok Produk
2002
2003
2004
Th.2005
Febr.
US$000
US$000
US$000
US$000
Kayu & Barang dari Kayu
225.269
234.999
228.077
53.407
Perabot & Penerangan Rumah
444.026
527.190
468.929
104.612
Jerami/Anyaman
3.968
4.366
7.515
805
Sumber : Bank Indonesia Semarang, 2005
Sementara itu salah satu eksportir di DI Yogyakarta saat ini mampu mengekspor 3 s.d 5 kontainer per minggu dengan 30% di antaranya berupa produk kerajinan berbahan baku eceng gondok dengan negara-negara tujuan antara lain Amerika Serikat, Kanada, Australia dan negara-negara di Eropa. Sedangkan salah satu eksportir di Kabupaten Sukoharjo (termasuk eks.Karesidenan Surakarta) mampu mengirim 6 kontainer per bulan produk mebel dengan 20% s.d 30% berbahan baku eceng gondok, negara-negara tujuan yang sama dengan produk kerajinan. Hingga saat ini para eksportir tersebut masih memperoleh order dari berbagai negara untuk produk-produk kerajinan dan mebel. Dengan memperhatikan besarnya volume ekspor dari tahun ke tahun, maka potensi pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku kerajinan maupun mebel akan memberikan peluang yang cukup besar bagi para pelaku usaha dengan eceng gondok sebagai komoditas.
Apabila diuraikan lebih lanjut, maka permintaan komoditas eceng gondok di setiap pelaku usaha adalah sebagai berikut.
A. Tingkat Petani
Permintaan eceng gondok basah yang dipanen oleh petani (masyarakat setempat) berasal dari para pengepul serta perajin tali. Dari wawancara dengan petani di daerah Rawa Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, diperoleh informasi bahwa setiap petani mampu mengumpulkan dan menjual sekitar 250 kg sampai 300 kg eceng gondok basah perhari dengan harga Rp.150,- per kilogram dengan pembayaran tunai. Dengan demikian setiap petani bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp.45.000,- perhari.
B. Tingkat Perajin Tali
Perajin tali memproduksi tali/ klabangan dari eceng gondok yang telah dijemur selama 4-5 hari. Setiap hari seorang perajin tali mampu memproduksi hingga 2 kilogram klabangan eceng gondok. Untuk memproduksi 1 kilogram tali/klabangan eceng gondok diperlukan 12 kilogram eceng gondok basah. Produk ini oleh para perajin dijual kepada para pengepul dengan harga Rp.5.000,- per kilogram dengan pembayaran tunai atau pembayaran berjangka waktu maksimal seminggu setelah barang diserahkan.
C. Tingkat Pengepul
Pengepul adalah orang yang membeli eceng gondok basah dari petani atau klabangan eceng gondok dari perajin tali. Salah seorang pengepul yang khusus menjual eceng gondok basah setiap hari mampu menjual sebanyak 8 ton kepada industri kecil kerajinan di Bantul Yogyakarta dengan harga jual Rp.237,50 per kilogram. Sedangkan pengepul yang menjual tali/klabangan eceng gondok mampu menjual sekitar 500 kg/hari.
D. Tingkat Industri Kecil
Terdapat 2 (dua) jenis Industri kecil yang menggeluti komoditas eceng gondok, yaitu: (a) industri kecil yang memproduksi kerajinan tangan seperti tenun, keranjang, tas, hiasan dinding dsb;(b) industri mebel yang memproduksi perabot rumahtangga antara lain kursi, sofa, lemari dsb.
Industri kecil yang termasuk type (a) biasanya membeli eceng gondok basah yang dijemur sendiri, kemudian eceng gondok kering diserahkan kepada para ibu rumah tangga atau keluarganya untuk diproses lebih lanjut menjadi tali/klabangan. Sedangkan industri kecil type (b) lebih dominan membeli tali/klabangan eceng gondok. Industri kecil tersebut biasanya memperoleh order dari para eksportir (usaha menengah) yang mereka sebut dengan vendor.
Produk dari industri kecil ini jenisnya beragam, untuk produk berupa kerajinan tangan harga jual berkisar antara Rp.5.000 s.d Rp.250.000,- per unit. Order dari eksportir mencapai 2400 unit per bulan. Sedangkan industri mebel memperoleh order sekitar 200 unit perbulan dengan harga antara Rp.200.000 s.d Rp.400.000,- per unit.
Adapun cara pembayaran dari eksportir yang dilakukan adalah secara tunai, di mana tahap pertama memberikan uang muka sebesar 30% dari nilai kontrak sedangkan sisanya setelah barang diserahkan.
E. Tingkat Industri Menengah/Eksportir
Seperti telah disebutkan di atas para eksportir umumnya menjual sebagian besar produknya untuk pasar luar negeri baik berupa kerajinan maupun mebel. Usaha-usaha di tingkat inilah yang menjadi tumpuan pasar dari pelaku usaha dengan komoditas eceng gondok mulai dari petani, pengepul dan usaha kecil. Adapun pasar dari para eksportir ini adalah buyer atau pembeli dari mancanegara baik yang memiliki perwakilan di Indonesia maupun langsung dari negaranya.
Produk berupa mebel maupun barang kerajinan yang terbuat dari kayu, rotan, eceng gondok, pelepah pisang, pandan dan sebagainya merupakan produk-produk yang diminati oleh masyarakat di negara-negara Eropa, Australia dan Amerika juga Asia.
Rata-rata setiap eksportir telah mempunyai pelanggan masing-masing dan meskipun belum ada asosiasi di antara mereka, namun mereka telah memiliki komitmen yang sama dengan penetapan harga yang relatif sama untuk produk-produk sejenis. Dengan demikian tidak ada suatu persaingan harga yang akan berakibat buruk terhadap usaha mereka.
Volume pengiriman barang untuk perusahaan yang memproduksi kerajinan mencapai 3-5 kontainer perminggu. Sedangkan produk mebel antara 4 - 6 kontainer per bulan.
Harga jual dari eksportir kepada buyer cukup beragam, di mana untuk produk kerajinan tangan berkisar antara Rp.3000,- sampai dengan Rp.300.000,- perunit. Sedangkan untuk produk mebel antara Rp.400.000,- sampai dengan Rp.1.300.000,- perunit. Para eksportir ini tidak membedakan antara harga jual untuk ekspor maupun lokal. Biasanya persentase penjualan untuk lokal sangat sedikit dibandingkan ekspor. Pada umumnya bagi buyer yang baru pertama kali dikenal oleh eksportir, diharuskan memberikan uang muka sebesar 50% dari nilai pembelian (bagi buyer pelanggan cukup memberikan uang muka sebesar 30%) berdasarkan Purchase Order (PO) dan sisanya ditransfer melalui bank apabila barang telah diterima di tempat tujuan. Jalur distribusi produk dan cara pembayaran dari setiap unit usaha dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Jalur Distribusi Produk Dan Cara Pembayaran
Produk
Penjual
Pembeli
Pembayaran
Eceng Gondok Basah
Petani
Perajin Tali,
Pengepul
Tunai
Eceng Gondok Basah
Pengepul
Usaha Kecil
Jangka Waktu 1 minggu
Eceng Gondok Kering
Usaha Kecil
Perajin Tali
Dihitung dengan produk tali
Tali/Klabangan
Perajin Tali
Pengepul
Jangka Waktu 1 minggu
Tali/Klabangan
Pengepul
Usaha Kecil
Tunai
Kerajinan Tangan & Mebel (Barang dalam Proses)
Usaha Kecil
Eksportir
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Kerajinan Tangan dan Mebel
Usaha Kecil
Eksportir
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Kerajinan Tangan dan Mebel
Eksportir
Buyer Mancanegara
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Sumber : Data Primer (2005)
Antara petani, pengepul dan usaha kecil di dalam transaksinya hanya didasarkan prinsip jual beli konvensional dengan mengedepankan kepercayaan. Sebagai pengikat kelangsungan hubungan usaha di antara petani dengan pengepul adalah adanya pinjaman dari pengepul kepada petani yang diimplementasikan dalam bentuk pengadaan perahu untuk pengambilan eceng gondok di rawa. Selanjutnya petani akan mengembalikan pinjaman tersebut dengan eceng gondok dalam jumlah yang telah disepakati.
Kemudian di antara pengepul dan usaha kecil juga sering terjadi pinjam meminjam uang di antara mereka. Kerjasama tertulis antara usaha kecil dengan eksportir hanya berupa Purchase Order serta pengawasan terhadap kualitas produk oleh pihak eksportir. Adapun antara eksportir dengan buyer juga dalam bentuk Purchase Order dengan pemesanan melalui faksimili, telpon atau datang ke pabrik dan transaksi pembayaran melalui transfer antar bank tanpa melalui mekanisme Letter of Credit (L/C). Kemudian pihak buyer juga memberikan supervisi yang bertujuan menjaga kualitas produk. Kondisi semacam ini telah berlangsung lama dan berjalan dengan baik. Apabila produk berupa kerajinan maupun mebel telah terkirim dan ternyata tidak sesuai dengan pesanan baik bentuk maupun kualitasnya, maka biasanya oleh buyer tidak dikembalikan, namun tetap diterima dengan pemotongan harga. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya hambatan dari pihak-pihak terkait.
Bagi lembaga keuangan terutama bank umum yang akan membiayai usaha seperti ini dianjurkan memberikan kredit kepada 3 (tiga) pelaku usaha sekaligus, yaitu pengepul, industri kecil dan eksportir dengan mengembangkan konsep kemitraan usaha di antara mereka.
Kemitraan usaha yang dikuatkan dengan suatu Nota Kesepakatan di antara mereka akan menjamin kontinuitas industri yang menggunakan bahan baku eceng gondok.
Sedangkan untuk pelaku usaha yang lain yaitu perajin tali dan petani akan lebih cocok ditangani oleh BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dengan pola kredit kelompok. Secara sederhana, mekanisme kredit kelompok yaitu perjanjian kredit dilakukan oleh ketua kelompok petani berdasarkan Surat Kuasa dari para petani termasuk menerima uang atas nama para petani. Untuk menjamin para pengepul selalu mendapatkan eceng gondok basah maupun tali dari petani dan perajin tali, maka dalam pemberian kredit oleh BPR sebaiknya para pengepul ini diikutsertakan sebagai avalis bagi para perajin tali maupun petani.
Akan lebih baik jika para pengepul ini disepakati dan diangkat oleh perajin tali maupun petani sebagai ketua kelompok untuk mendapatkan kredit dari bank.
Sebagai kendala yang merupakan potensi masalah dalam aspek pemasaran ini adalah jika terjadi kerusuhan di dalam negeri seperti adanya teror bom, demonstrasi yang kemudian merambas kepada ketidakstabilan politik yang semuanya mengakibatkan dibatasinya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dengan semakin berkurangnya wisatawan berkunjung, maka berkurang pula peluang para eksportir mempromosikan produknya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, maka para eksportir ini secara bersama-sama atau sendiri-sendiri mengikuti pameran ke luar negeri. Kegiatan pameran tersebut biasanya difasilitasi oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Pemerintah Daerah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), asosiasi-asosiasi dan sebagainya.
Dari pameran-pameran inilah biasanya terjadi suatu transaksi pesanan baik produk kerajinan maupun mebel.
III. ASPEK TEKNIS & PRODUKSI
Kondisi lingkungan seringkali mempengaruhi pola hidup atau kebiasaan penduduk di suatu daerah termasuk di dalamnya kegiatan untuk memperoleh pendapatan dengan cara melakukan kegiatan tertentu. Demikian pula halnya yang terjadi pada kegiatan usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas.
Daerah Rawa Pening merupakan daerah pertanian, sehingga mata pencaharian penduduk yang utama adalah bertani. Oleh karena itu penduduk di daerah ini hanya menganggap eceng gondok sebagai komoditas untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Meskipun tanaman eceng gondok ini sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan dan mebel sejak tahun 1990 an, namun penduduk di daerah Rawa Pening hingga saat ini belum terdorong untuk memproduksi barang kerajinan maupun mebel sendiri. Kegiatan mereka mengolah eceng gondok hanya sebatas membuat tali klabangan.
Kota Yogyakarta dan Surakarta atau Solo sejak dahulu kala sudah terkenal sebagai daerah industri kerajinan dan mebel dalam skala kecil maupun menengah. Oleh karena itu sebagian kelompok masyarakat di dua daerah ini memiliki kebiasaan untuk menghasilkan produk-produk yang bisa memberikan nilai tambah yang tinggi.
Di Kabupaten Bantul – Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, komoditas eceng gondok digunakan sebagai bahan baku pembuatan aneka macam kerajinan tangan (souvenir) seperti tas, keranjang, hiasan dsb. Sedangkan di eks. Karesidenan Surakarta khususnya di Kabupaten Sukoharjo, eceng gondok dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi mebel.
Keberhasilan pemasaran produk kerajinan maupun mebel yang menggunakan bahan baku eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pelaku usaha dalam kegiatan produksi.
Konsistensi dan keahlian baik dari petani, perajin tali, para pekerja di industri kecil maupun eksportir sangat menunjang kelangsungan usaha produk kerajinan dan mebel.
Aspek teknis dan produksi dari masing-masing pelaku usaha dapat diuraikan sebagai berikut :.
A. Petani Eceng Gondok
Wilayah Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang merupakan lahan enceng gondok dengan luas tak kurang dari 1.000 hektar. Eceng gondok dari daerah ini memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daerah Cilacap atau Purworejo, mengingat perairan yang ditumbuhi eceng gondok belum tercemar oleh limbah industri.
Petani atau pengambil eceng gondok di wilayah ini mencapai 45 orang. Mereka mengambil eceng di Rawa Pening sudah belasan tahun dengan menggunakan sarana produksi berupa perahu. Pada saat ini harga 1 (satu) unit perahu sekitar Rp 250.000,-.
Proses produksi atau memanen eceng gondok harus mengikuti aturan tertentu untuk mendapatkan bahan baku yang memenuhi syarat bagi industri kerajinan maupun mebel. Eceng gondok yang siap dipanen harus cukup umur yang ditandai dengan batang berwarna hijau tua dengan panjang dari akar di atas 40 sentimeter. Cara pengambilan eceng gondok dengan memotong batang di atas akar menggunakan sabit . Dengan cara demikian rumpun eceng gondok selalu bertunas kembali. Batang-batang eceng gondok tersebut kemudian digabung dan diikat dalam jumlah tertentu (dalam diameter sekitar 1 pelukan tangan orang dewasa). Selanjutnya dimuat dalam perahu dan dibawa ke tepi rawa.
Di daratan, ikatan-ikatan eceng gondok ditumpuk, sebelum diangkut ke atas truk ditimbang terlebih dahulu untuk memastikan nilai uang yang akan diterima petani.
Selama ini rata-rata setiap petani mampu memanen eceng basah seberat 2,5 sampai 3 kwintal per hari yang langsung dijual kepada para pengepul atau perajin tali. Kondisi ini masih bisa dipertahankan sepanjang waktu meskipun pada musim kemarau tanaman eceng gondok agak berkurang.
Dengan memperhitungkan tingkat pengeluaran keluarga petani, maka setiap petani memiliki potensi menabung sebesar Rp.10.000,- sampai Rp.20.000,- per hari yang berarti pula sebagai potensi dana pihak ketiga bagi BPR.
B. Perajin Tali Eceng Gondok
Pembuatan tali eceng gondok di daerah Rawa Pening biasanya dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan anak perempuan. Hal ini mengingat membuat tali eceng gondok sama dengan mengelabang rambut yang telah biasa mereka lakukan. Karena itu tali eceng gondok juga disebut kelabangan. Di daerah ini tak kurang dari 300 orang melakukan pekerjaan sampingan membuat tali eceng gondok.
Meskipun kelihatannya mudah, tetapi dalam pembuatan tali eceng gondok tidak bisa dilakukan dengan cara sembarangan namun harus dengan teknik tertentu. Produk tali eceng gondok yang bagus kualitasnya dapat ditengarai dari warna coklat tua, bersih dan tidak berbintik hitam. Selanjutnya ciri lainnya adalah batang eceng gondok terlihat menggelembung, jika dipijat seperti berisi kapas, kemudian tidak tampak adanya sambungan.
Proses pembuatan tali eceng gondok adalah sebagai berikut:
1. Penjemuran batang eceng gondok di bawah sinar matahari selama 4 sampai 5 hari. Apabila hujan turun, maka eceng gondok tersebut perlu diteduhkan. Hasil eceng gondok kering yang bagus adalah apabila selama 4 hari berturut-turut tidak kehujanan.
2. Pengentasan eceng gondok kering dilakukan pada pagi hari setelah mendapatkan pengembunan pada malam hari. Apabila pengambilan eceng gondok kering dilakukan pada siang hari, maka batang eceng gondok akan mudah putus (rapuh).
3. Pembuatan tali dengan cara mengelabang 3 (tiga batang eceng gondok kering). Jika sisa ujung batang tinggal 4 cm sampai dengan 6 cm, maka harus disambung dengan batang baru. Harus diupayakan ujung batang pada sambungan tidak tampak keluar dari permukaan tali.
4. Apabila sudah cukup panjang maka tali klabangan tersebut digulung pada kayu yang disusun sedemikan rupa sehingga mudah dilepas dari tali yang sudah digulung.
5. Proses pengelabangan terus dilakukan hingga mencapai panjang sekitar 23 meter yang setara dengan berat 1 kilogram.
6. Proses terakir adalah melepas kayu dari gulungan tali, dan tali eceng gondok disimpan siap dijual.
Dalam pembuatan dan penjualan tali ini, terdapat perkiraan rumusan yang bisa dijadikan acuan untuk daerah Rawa Pening, yaitu:
· Untuk membuat 1 kilogram tali diperlukan sekitar 12 kilogram eceng gondok basah
· Setiap tenaga kerja bisa membuat 1 sampai dengan 2 kilogram tali dalam waktu 1 hari.
· Mengupahkan pembuatan tali dengan biaya sebesar Rp.2.700,- per kilogram tali.
· Harga jual tali kepada pengepul adalah Rp.5.000,- per kilogram tali
· Harga jual tali kepada industri kecil mebel atau kerajinan adalah Rp.6.250,- per kilogram tali.
C. Pengepul
Di daerah Rawa Pening, orang yang mempunyai profesi sebagai pengepul sekitar 9 orang, dan 2 (dua) di antaranya bisa dikatakan lebih menonjol dibandingkan tujuh lainnya. Para pengepul ini membeli eceng gondok basah dari petani atau tali eceng gondok dari perajin tali. Kemudian menjualnya kepada industri kecil kerajinan maupun mebel.
Di tingkat pengepul proses produksi yang terjadi adalah:
1. Penimbangan eceng gondok basah atau tali eceng gondok untuk memastikan besarnya biaya pembelian kepada petani atau perajin tali.
2. Pemuatan eceng gondok basah atau tali ke atas kendaraan.
3. Pengiriman produk ke tempat tujuan. Sebagai salah satu contoh, pengiriman eceng gondok kepada industri kecil kerajinan di Yogyakarta langsung diantarkan ke daerah pantai Samas dan Pantai Parangkusumo
4. Sampai di daerah pantai tersebut, eceng gondok basah diturunkan dari truk dan ditimbang bersama pihak dari industri kecil untuk memastikan nilai jualnya.
Adapun jenis serta besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pengepul eceng gondok basah terdiri dari:
· Pembelian eceng gondok basah sebesar Rp.150,- perkilogram dengan kapasitas 8.000 kilogram per hari
· Ongkos muat ke atas truk sebesar Rp.40.000,- per truk.
· Ongkos bongkar dari truk sebesar Rp.30.000,-per truk
· Ongkos truk dari Rawa Pening ke Yogyakarta sebesar Rp.205.000,- per truk
· Berat muatan sekitar 4.000 kilogram per truk.
Sedangkan untuk penjualan tali eceng gondok biasanya pembeli datang sendiri ke gudang para pengepul.
D. Industri Kecil
Kunci sukses industri kecil yang mengolah eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan barang kerajinan tangan dan mebel adalah keahlian dalam mendisain produk, kesabaran dan ketelitian. Eceng gondok yang diolah dengan baik akan menghasilkan produk berupa tali klabangan yang cukup kuat, kekenyalan seempuk tali rafia yang diisi kapuk dan tampilan permukaan yang bagus. Tingkat keawetan produk yang menggunakan bahan baku eceng gondok bisa disetarakan dengan rotan.
Selain dibuat tali klabangan, batang eceng gondok kering bisa ditenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) atau langsung dianyam pada benda lain seperti, botol, guci, peti kayu dan sebagainya. Dengan tingkat kegunaan yang sangat beragam, maka eceng gondok sangat cocok sebagai bahan baku produk kerajinan tangan dan mebel. Dibandingkan bahan lain seperti pelepah pisang, pandan dan sejenisnya, pada saat ini konsumen mancanegara lebih menyukai produk yang menggunakan bahan dasar eceng gondok. Hal ini terlihat dari ragam produk pada outlet salah satu eksportir yang menyediakan produk sisa ekspor, di mana sisa produk dari eceng gondok lebih sedikit jumlahnya dibandingkan sisa produk dari bahan lainnya.
Berikut ini akan disajikan proses produksi (1) kerajinan terbuat dari eceng gondok dari salah satu industri kecil di Kabupaten Bantul- DI Yogyakarta dan (2) Produk mebel dari eceng gondok dari industri kecil mebel di Kabupaten Sukoharjo wilayah Karesidenan Surakarta.
Tabel 3
Proses produksi pada Industri kerajinan dari eceng gondok
No
Kegiatan
Keterangan
1
Penjemuran Eceng
· Dijemur di daerah pantai berjarak 100 meter dari garis pantai.
· Dikerjakan oleh 6 orang tenaga borong dengan upah Rp.120.000/truk
· Lama penjemuran 4 hari
· Dari 12 kilogram eceng basah setelah dijemur menjadi 1 kilogram eceng kering
2
Mendisain/ merancang produk
· Disain produk bisa dari eksportir atau pengusaha sendiri
· Disain produk perlu disepakati oleh pihak eksportir
3
Penyiapan bahan
· Papan kayu sungkai atau tripleks, botol/guci/kendi dan sejenisnya sebagai pola, paku, benang, lem, CO2 cair, obat anti jamur, cat atau bahan melamin, amplas dan sebagainya
· Tali eceng yang dikerjakan oleh ibu rumahtangga dengan upah sekitar Rp2.500,-/ kilogram
· Terdapat sekitar 700 orang ibu rumahtangga yang dibina untuk membuat tali klabangan
4
Pembuatan Pola
· Berupa peti kayu segala ukuran sesuai permintaan
· Pola keranjang sampah dari tripleks
· Pola-pola lainnya
· Peralatan yang digunakan berupa, gergaji, bor, alat potong dsb. Dengan nilai total Rp.20 juta,-.
5
Penganyaman Pola
· Melapisi pola-pola yang telah dibuat dengan cara menganyamkan tali atau batang kering eceng gondok.
· Bahan penolong yang digunakan berupa lem, paku, benang.
· Kegiatan ini dilakukan oleh sekitar 60 orang tenaga borong yang bekerja di tempat tinggal mereka masing-masing.
· Upah borong tergantung dari besar kecilnya produk serta tingkat kesulitan pekerjaan. Mulai dari Rp.500,- sampai dengan Rp.30.000,- per unit.
· Untuk produk 1 set keranjang pakaian terdiri dari 3 unit berbagai ukuran memerlukan 8 kilogram tali eceng gondok.
· Pada proses ini pihak dari industri kecil melakukan supervisi agar produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
6
Penjemuran
· Produk yang dihasilkan perajin masih dalam bentuk working in process
· Diangkut ke workshop milik industri kecil
· Dibersihkan dengan menggunakan CO2 cair untuk menghilangkan bercak hitam atau memutihkan anyaman tali eceng gondok.
· Disemprot dengan obat anti jamur
· Dijemur selama 8 jam
7
Proses Finishing
· Setelah dijemur, produk dibrongot yakni membersihkan serat-serat yang terlepas dari anyaman tali dengan cara dibakar menggunakan alat penyembur api kecil.
· Diberi warna sesuai dengan pesanan
· Diampelas dengan amplas yang halus dan disikat untuk menghilangkan bubuk pewarna.
· Dilapisi dengan melamin
· Dijemur kembali sampai lapisan melamin kering
· Produk disimpan di gudang siap kirim
· Untuk kegiatan nomor 6 dan 7 dilaksanakan oleh 15 orang tenaga tetap
· Upah harian berkisar Rp.10.000,- sampai dengan Rp.25.000,- perhari dan dibayarkan setelah 1 minggu bekerja.
Sumber: Data Primer
Tabel 4
Proses produksi pada Industri mebel dari eceng gondok
No
Kegiatan
Keterangan
1
Mendisain /merancang produk
· Disain produk bisa dari eksportir atau pengusaha sendiri
· Disain produk perlu disepakati oleh pihak eksportir
2
Penyiapan bahan
· Papan dan balok kayu serta tripleks, sebagai kerangka dari mebel, paku, benang, lem, CO2 cair, obat anti jamur, cat atau bahan melamin, amplas dan sebagainya yang bisa dibeli di toko bahan atau lewat eksportir.
· Tali eceng dibeli dari pengepul di daerah Rawa Pening dengan harga Rp.6.250,- perkilogram
3
Pembuatan Pola Kerangka
· Berupa kerangka kayu untuk berbagai jenis model mebel, misalnya Arm Chair (AC), Kursi, Kursi Malas, Sofa type 2 Sitter, 3 Sitter dsb. ukuran sesuai permintaan
· Peralatan yang digunakan berupa, gergaji, bor, alat potong, alat semprot cat, dan lain-lain. Nilai totalnya adalah sebesar Rp.10 juta,-.
4
Pengamplasan kerangka
· Kerangka kayu yang telah disusun selanjutnya dihaluskan dengan cara mengampelas menggunakan mesin ampelas listrik
5
Desinfektan
· Untuk mencegah kerangka kayu dari serangan ngengat atau sejenisnya, maka diberi desinfektan
6
Penganyaman
· Melapisi kerangka kayu yang telah dibuat dengan cara menganyamkan tali eceng gondok.
· Bahan penolong yang digunakan berupa lem, paku, benang.
· Kegiatan ini dilakukan oleh sekitar 10 orang tenaga borong yang bekerja di tempat tinggal mereka masing-masing atau di workshop industri kecil.
· Upah borong tergantung dari besar kecilnya produk serta tingkat kesulitan pekerjaan. Mulai dari Rp.25.000,- sampai dengan Rp.65.000,- per unit.
· Untuk produk 1 set sofa 3 sitter memerlukan 32 kilogram tali eceng gondok.
· Pada proses ini pihak dari eksportir kadang-kadang bersama Buyer melakukan supervisi agar produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
7
Siap kirim kepada eksportir untuk proses lebih lanjut
· Jika kontrak hanya sampai dengan penganyaman tali eceng, maka Produk yang dihasilkan perajin masih dalam bentuk working in process siap dikirim ke eksportir
· Jika kontraknya sampai produk jadi, maka proses selanjutnya dilaksanakan oleh industri kecil yakni dengan meneruskan kegiatan 8 dan 9.
8
Penjemuran
· Dibersihkan dengan menggunakan CO2 cair untuk menghilangkan bercak hitam atau memutihkan anyaman tali eceng gondok.
· Disemprot dengan obat anti jamur
· Dijemur selama 8 jam
9
Proses Finishing
· Setelah dijemur, produk dibrongot dengan api untuk menghilangkan serat-serat yang terlepas dari anyaman tali
· Diberi warna sesuai dengan pesanan
· Diampelas dengan amplas yang halus dan disikat untuk menghilangkan bubuk pewarna.
· Dilapisi dengan melamin
· Dijemur kembali sampai lapisan melamin kering
· Produk disimpan di gudang siap kirim
Sumber: Data Primer
E. Eksportir
Tidak diragukan peran para eksportir sangat penting dalam kelanjutan industri dengan menggunakan komoditas eceng gondok. Keahlian mereka dalam menciptakan desain produk yang diminati oleh konsumen mancanegara merupakan kunci sukses mendampingi kekuatan manajemen yang baik serta modal yang cukup. Baik eksportir yang mengkhususkan diri mengekspor barang kerajinan tangan (handycraft) ataupun mebel harus mampu menciptakan produk-produk terbaik dengan harga yang bersaing apabila ingin tetap survive dan berkembang. Kelanjutan usaha para industri kecil dan perajin eceng gondok sangat tergantung dari order dari para eksportir ini.
Dalam kegiatan produksi, kebanyakan para eksportir ini melakukan kerjasama dengan para industri kecil dan perajin. Pada umumnya mereka hanya melanjutkan kegiatan pada butir 8 yaitu proses penjemuran dan 9 yakni proses finishing. Dan seperti pada industri kecil, yang lebih diutamakan adalah merancang atau mendisain produk sesuai permintaan buyer dari mancanegara.
Ketika produk akan dinaikkan ke dalam peti kemas (container), maka sebelumnya barang-barang tersebut dikemas atau dibungkus dengan kertas karton dan diikat agar tidak lecet atau rusak ketika berada dalam pengangkutan.
Kegiatan proses produksi yang dilakukan salah satu eksportir mebel di Kabupaten Sukoharjo dilaksanakan oleh 17 orang pegawai tetap terutama untuk kegiatan proses penjemuran dan finishing produk setengah jadi atau working in process. Upah yang diberikan berkisar antara Rp.15.000,- sampai dengan Rp.25.000,- per orang per hari.
Dalam kegiatan produksi di setiap tingkatan mulai dari petani sampai dengan eksportir tidak ada kendala mengingat semua proses produksi dapat dilakukan dengan mudah. Di samping itu peralatan produksi yang dipakai adalah alat-alat yang mudah digunakan dan mudah dibeli di toko-toko setempat. Demikian pula bahan baku dan bahan penolong, menggunakan bahan-bahan lokal yang bisa dibeli dengan mudah.
IV. ASPEK KEUANGAN
Kemampuan untuk survive atau berkembangnya suatu usaha tidak lepas dari kemampuan pengusahanya dalam mengelola keuangan perusahaannya. Setiap rupiah uang yang berhasil dihimpun digunakan untuk pembiayaan dalam operasional usaha secara tepat guna dan berdaya guna. Manajemen keuangan yang sederhana yang diterapkan oleh pelaku usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas mampu melestarikan kelanjutan usahanya.
Dari beberapa usaha yang disurvei, ternyata ada yang telah menggunakan kredit bank, namun masih ada juga yang menggunakan modalnya sendiri tanpa bantuan kredit dari bank.
Untuk mengetahui kemampuan dari setiap usaha ini mulai dari petani sampai eksportir, akan dilakukan analisis terhadap aspek keuangannya. Dalam melakukan analisis aspek keuangan ini diawali dengan menetapkan berbagai asumsi yang berhubungan dengan aspek pemasaran dan aspek teknis produksi sebagaimana telah diuraikan di atas. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebutuhan dana baik untuk modal kerja maupun investasi setiap kegiatan dalam usaha tersebut. Diteruskan dengan perkiraan proyeksi laba rugi serta arus kas usaha.
Dengan mengetahui hasil analisis keuangan ini termasuk di dalamnya net present value (NPV) dari setiap rupiah yang diperoleh pada masa datang, berapa lama masa payback periodnya, berapa besar tingkat benefit & cost rationya maka prospek pembiayaan usaha ini dikemudian hari akan dapat diketahui.
Bagi bank, analisis aspek keuangan ini akan menunjukkan seberapa besar kemampuan menabung oleh usaha tersebut dikaitkan dengan potensi kredit serta tingkat suku bunga yang bisa diberikan dalam kegiatan usaha ini.
Bagi investor baru yang ingin terjun pada usaha ini akan dapat mengetahui seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari dana yang diinvestasikan dalam kegiatan usaha.
Asumsi Dasar
Asumsi dan parameter yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 5
Asumsi Dasar
No
Asumsi
A.
Aspek Pasar
1. Untuk masa depan, permintaan produk dianggap konstan dalam jangka waktu 5 tahun yang merupakan umur ekonomis proyek
2. Pertumbuhan jenis usaha yang sama diperhitungkan tidak ada (0%), atau tingkat persaingan besarnya tetap sama, sehingga volume produksi maupun penjualan dapat dipertahankan.
3. Tingkat persaingan di antara pelaku usaha sejenis tidak saling menjatuhkan harga jual produk
4. Produk untuk perhitungan analisis diambil contoh 1 jenis dengan permintaan terbanyak
5. Tidak ada peraturan yang mengurangi kebebasan berusaha
B.
Aspek Teknis & Produksi
1. Persediaan tanaman eceng gondok tidak berkurang dan lahan tempat bertumbuhnya tidak tercemar limbah industri dan sampah
2. Kemudahan dalam penyediaan sarana produksi masih dapat terjamin
3. Harga pembelian sarana produksi diperhitungkan adanya kenaikan sebesar 5 % pertahun
4. Kerjasama produksi mulai dari petani, perajin, pengepul, industri kecil dan eksportir setidaknya bisa dipertahankan seperti saat ini
5. Tidak ada gangguan terhadap kegiatan produksi yang disebabkan adanya kerusuhan, demonstrasi
C.
Aspek Keuangan
1. Diperhitungkan adanya kenaikan harga jual produk dan biaya produksi rata-rata 5 % pertahun yang dipengaruhi inflasi.
2. Sukubunga kredit perbankan tidak naik dan diperhitungkan sebesar 1,5% perbulan menurun
3. Tidak ada penundaan pembayaran di antara pelaku usaha tersebut di luar kebiasaan yang selama ini terjadi.
4. Komposisi dana yang berasal dari modalnya sendiri dibanding dengan kredit bank tergantung kemampuan masing-masing usaha.
Kebutuhan Dana
Setiap usaha membutuhkan dana yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan pembiayaan, yaitu biaya Investasi dan biaya untuk operasional usaha.
Biaya investasi merupakan kelompok biaya untuk memenuhi kebutuhan pengadaan fisik usaha seperti: lahan/tanah, bangunan, mesin dan peralatan, kendaraan untuk transportasi, perijinan usaha yang secara akuntansi dimasukkan dalam pos-pos harta tetap yang umur ekonomisnya lebih dari 1 (satu) tahun. Sedangkan biaya operasional yang juga disebut modal kerja merupakan komponen biaya untuk pembelian bahan baku, bahan penolong, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik (termasuk di dalamnya biaya listrik, pemeliharan dan penyusutan), biaya administrasi dan umum, biaya pemasaran, bahan bakar untuk transportasi.
Dalam analisis aspek keuangan kedua kelompok biaya ini dimasukkan sebagai dana atau investasi awal pada tahun ke-0 (nol). Di dalam proyeksi arus kas pada tahun ke lima atau tahun terakhir, sisa nilai buku dari harta tetap dan nilai modal kerja seluruhnya diperhitungkan sebagai salvage value yang menambah pos penerimaan usaha.
1. Biaya Investasi
a. Petani eceng gondok
Untuk seorang petani pengambil eceng gondok di rawa hanya memerlukan biaya investasi sebesar Rp.250.000,- untuk pembelian atau pembuatan sebuah perahu kayu dengan dayung. Di daerah Rawa Pening Ambarawa terdapat seorang pengepul yang memberikan pinjaman kepada petani untuk pengadaan perahu tersebut. Hal ini merupakan potensi bagi BPR untuk memberikan kredit kepada kelompok petani dengan ketua kelompoknya adalah pengepul eceng.
Dengan asumsi seperti di atas, maka diharapkan sumber dana untuk biaya investasi ini berasal dari kredit BPR sebesar Rp.200.000,- dan modal dari petani sebesar Rp.50.000,-
b. Perajin Tali
Perajin tali tidak membutuhkan biaya investasi, mengingat alat produksi (penggulung tali) yang digunakan hanya berupa potongan kayu yang diperoleh dari kayu bekas bangunan atau batang pohon.
c. Pengepul
Pada tingkat ini, kebutuhan biaya investasi digunakan untuk membeli sebuah timbangan gantung dengan harga beli sebesar Rp.250 ribu,- untuk menimbang tali dan eceng gondok basah. Dalam analisa usaha di tingkat pengepul diusulkan alternatif pengembangannya dengan pengadaan 1 unit truk dengan kapasitas angkut 4-5 ton seharga Rp.150 juta,-. Truk ini dapat digunakan mengangkut 8 ton eceng gondok basah dalam 2 rit perhari dengan trayek Rawa Pening – DI Yogyakarta (jarak sekitar 110 kilometer). Kembali dari Yogyakarta truk tersebut dapat digunakan untuk mengangkut pasir Muntilan yang dijual di Semarang dan sekitarnya. Dengan demikian pengepul ini akan mendapatkan hasil pokok berupa penjualan eceng gondok dan hasil tambahan yang berasal dari penjualan pasir Muntilan.
Dengan asumsi seperti di atas, jumlah investasi Rp.150.250.000,-, dan sumber dana untuk biaya investasi berasal dari kredit bank sebesar Rp.100.000.000,- dan dari modalnya sendiri sebesar Rp.50.250.000,-.
d. Industri Kecil
Untuk analisa usaha dari industri kecil diambil salah satu contoh industri kecil kerajinan tangan yang berada di Kabupaten Bantul.
Biaya investasi untuk 1 unit usaha di tingkat industri kerajinan meliputi pengadaan:
Tabel 6
Investasi pada Industri Kecil Kerajinan
No
Jenis Investasi
Nilai (Rp)
1
Lahan untuk workshop dan tempat jemur (1.000 m2)
150.000.000
2
Bangunan workshop semi permanen (500 m2)
150.000.000
3
Berbagai alat produksi (gergaji, bor, pemotong dsb)
20.000.000
4
Kendaraan pickup (2 unit)
80.000.000
Jumlah
400.000.000
Dana sebesar tersebut di atas bersumber dari modalnya sendiri karena selama ini belum pernah menggunakan kredit dari bank. Jumlah tersebut merupakan revaluasi harta tetap berupa tanah yang dimiliki dari pihak keluarga, di samping itu juga dari hasil pemupukan modal dari hasil kegiatan usaha.
Namun apabila diasumsikan bahwa nilai di atas merupakan investasi baru dengan modal sendiri sebesar Rp.300 juta (nilai tanah dan bangunan), maka diperlukan kredit dari bank sebesar Rp.100 juta.
e. Eksportir
Untuk usaha yang akan dianalisis di tingkat eksportir diambil salah satu contoh eksportir mebel di Desa Trangsan – Kabupaten Sukoharjo. Pada saat ini investasi yang dimiliki perusahaan berupa:
Tabel 7
Investasi pada Usaha Eksportir
No
Jenis Investasi
Nilai (Rp)
1
Lahan untuk workshop, gudang dan tempat jemur (2.000 m2)
600.000.000
2
Bangunan workshop dan gudang permanen (1200 m2)
600.000.000
3
Berbagai alat produksi (gergaji, bor, pemotong dsb)
40.000.000
4
Kendaraan pickup (2 unit)
Truk kapasitas 4 ton (1 unit)
80.000.000
120.000.000
Jumlah
1.440.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Sumber dana sebesar tersebut di atas termasuk revaluasi nilai tanah yang telah dibeli dan berasal dari pemupukan modal dari hasil usaha. Selama ini belum pernah mendapatkan kredit dari bank. Namun jika dianggap suatu investasi baru dengan dana sendiri digunakan untuk membeli tanah dan bangunan sebesar Rp.1.200juta, sisanya diasumsikan berasal dari kredit bank sebesar Rp.240 juta.
2. Biaya Operasional / Modal Kerja
Untuk suatu kegiatan usaha diperlukan modal kerja yang digunakan untuk membiayai operasional usaha. Meskipun disebut modal kerja tidak berarti hanya bersumber dari dana sendiri, namun bisa berasal dari kredit bank atau lainnya. Berdasarkan kaidah akuntansi yang berlaku fungsi dari modal kerja adalah untuk membiayai semua kegiatan usaha yang memenuhi masa/periode pemakaian kurang dari 1 (satu) tahun.
Kebutuhan modal kerja minimum tergantung dari berapa lama perputaran uang kas dari setiap usaha, sejak uang dikeluarkan hingga diterima kembali dalam bentuk kas.
Setiap usaha memiliki karakteristik tersendiri, sehingga kebutuhan modal kerjanyapun berbeda-beda sebagai berikut:
a. Petani
Dalam kegiatan sehari-hari petani eceng gondok tidak memerlukan modal kerja. Hal ini disebabkan proses panen eceng gondok hanya perlu waktu 9-10 jam, dan petani langsung memperoleh uang dari hasil penjualan eceng kepada pengepul pada hari itu juga. Meskipun demikian untuk analisis keuangan tetap diperhitungkan adanya modal kerja berupa gajinya sendiri sebesar Rp.700.000,-/ bulan.
b. Perajin Tali
Proses produksi untuk membuat tali eceng gondok diawali dengan penjemuran eceng selama 4 hari. Kemudian dilanjutkan dengan mengelabang eceng kering menjadi tali perlu waktu 1 hari untuk mendapatkan 2 kilogram tali. Pembayaran dari pengepul kepada perajin tali ditunda selama 15 hari. Sehingga total periode putaran uang adalah 20 hari. Adapun untuk memproduksi 2 kilogram tali dibutuhkan 24 kilogram eceng gondok basah @ Rp.150,-/kilogram. Dengan demikian setiap perajin tali membutuhkan modal kerja sebagai berikut:
Pembelian bahan baku = 24 kg x 20 hari x Rp.150,- = Rp.72.000,-. Sumber dana sebesar tersebut bisa berasal dari kredit BPR.
c. Pengepul
Kemampuan pengepul membeli eceng gondok dari petani diperhitungkan sebanyak 8.000 kilogram @ Rp.150,-/kilogram. Eceng gondok basah tersebut langsung dikirim dalam 2 (dua) kali pengiriman perhari kepada usaha kecil di Bantul- Yogyakarta, dengan jangka waktu pembayaran 7 hari. Agar truk tersebut lebih berdaya guna, maka sekembalinya dari Yogyakarta ke Ambarawa dapat dimanfaatkan mengangkut pasir dari Muntilan. Untuk kegiatan-kegiatan tersebut diperlukan modal kerja sebagai berikut:
Tabel 8
Kebutuhan Modal Kerja UsahaPengepul
Pembelian Enceng
7x8000xRp150
8.400.000
Pembelian Pasir
2ritxRp.225.000
500.000
Upah muat
4 ritxRp.40.000
160.000
Upah bongkar
4 ritxRp.30.000
120.000
Upah pengemudi
2 ritxRp.100.000
200.000
Biaya Operasional
1 x Rp.7.600.000
7.600.000
Jumlah
16.980.000
Sumber: Data Primer diolah
Modal kerja sebesar tersebut di atas diperkirakan berasal dari kredit bank sebesar Rp.10juta dan modalnya sendiri sebesar Rp.6.930.000.
d. Industri Kecil
Industri kecil kerajinan yang langsung membeli eceng gondok basah dari pengepul serta memperoleh order dari eksportir memerlukan modal kerja untuk pembuatan keranjang pakaian sebanyak 2.000 set. Untuk 1 set keranjang memerlukan 8 kilogram eceng kering. 2 lembar papan kayu sungkai atau albizia.
Tabel 9
Kebutuhan Modal Kerja Industri Kecil Kerajinan
Eceng basah
2000x8x12xRp237.5
45.600.000
Upahpengeringan
2000x96xRp30
5.760.000
Upah pembuatan tali
2000x8xRp.2.500
40.000.000
Papan Kayu
2000x2xRp1.500
6.000.000
Upah pembuatan kotak kayu
2000xRp.2.500
5.000.000
Upah menganyam kotak kayu
2000xRp.15.000
30.000.000
BahanFinishing
2000xRp.5.000
10.000.000
Upah Finishing
2000xR.5.000
10.000.000
BiayaUmum pabrik
6.000.000
Biaya Operasional
4.000.000
Jumlah
162.360.000
Sumber:Data Primer diolah
Dari jumlah biaya operasional tersebut, pengusaha memperoleh uang muka sebesar: 30%x 2000xRp.100.000 = Rp.60.000.000,- dari eksportir. Di mana harga jual keranjang kepada eksportir adalah Rp.100.000,- per set. Nilai tersebut merupakan bagian dari modalnya sendiri sebesar Rp.62.360.000.
Dengan demikian potensi kredit yang dapat diberikan kepada pengusaha industri kecil kerajinan sebesar Rp.100juta.
Order keranjang pakaian sebanyak 2000 set tersebut dapat diselesaikan dalam waktu 2 bulan.
e. Ekportir
Pada saat ini pembelian dari Buyer mancanegara mencapai 3 kontainer per bulan dengan nilai rata-rata mencapai Rp.90 juta per kontainer. Jumlah mebel per kontainer mencapai 200 unit. Dengan demikian selama 1 bulan jumlah unit yang diproduksi minimal mencapai 600 unit.
Biaya operasional termasuk biaya produksi produksi untuk 600 unit mebel adalah sebagai berikut:
Tabel 10
Kebutuhan Modal Kerja Usaha Eksportir
Bahan baku & penolong
600xRp120.000
72.000.000
Upah Tukang
600xRp60.000
36.000.000
B.Umum Pabrik
3.000.000
Pengangkutan
3xRp20.000.000
60.000.000
Biaya Umum
30.000.000
Jumlah
201.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Jumlah tersebut di atas merupakan modal kerja yang diperlukan selama 1 bulan. Biasanya eksportir mendapat uang muka dari buyer sebesar 30% dari nilai order yakni sebesar= 30% x Rp.270.000.000 = Rp.81.000.000,-. Berarti kekurangan modal kerja sebesar Rp.120.000.000,- diasumsikan akan dipenuhi dari kredit bank.
Struktur Dana
Dari prakiraan kebutuhan dana baik untuk investasi maupun modal kerja di atas dapat diringkas struktur dana masing-masing usaha sebagai berikut:
Tabel 11
Struktur Dana
Usaha
Investasi
Rp.juta
Modal
Kerja
Rp.juta
Modal
Sendiri
Rp.juta
Kredit
Invest.
Rp.juta
Kredit
M.Kerja
Rp.juta
Petani
0,25
0,7
0,75
0,2
0
Perajin
0
0,072
0
0
0,072
Pengepul
150,25
16,93
57,18
100
10
Ind.Kecil
400
162,36
362,36
100
100
Eksportir
1.440
201
1281
240
120
Sumber: Data primer diolah
Dihubungkan dengan populasi petani dan perajin serta pengepul yang ada di daerah Rawa Pening dan diasumsikan setiap pelaku usaha yang sejenis memperoleh kredit dalam jumlah yang sama, maka potensi kredit yang bisa diberikan kepada kelompok usaha di daerah Rawa Pening adalah:
Tabel 12
Potensi Kredit
Pelaku
Usaha
Populasi
Kredit
Investasi
Kredit
Modal kerja
Petani
45
9.000.000
0
Perajin
300
0
21.600.000
Pengepul
9
900.000.000
90.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Meskipun populasi dari industri kecil kerajinan di Yogyakarta dan industri kecil mebel di Kabupaten Sukoharjo belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan mencapai belasan unit. Jika setiap industri kecil memerlukan kredit rata-rata sebesar Rp.200 juta, maka potensi kreditnya bisa mencapai jumlah yang besar.
Adapun skim kredit yang digunakan dalam perhitungan analisis keuangan dari setiap jenis usaha diperlakukan sama yakni:
Tabel 13
Skim Kredit
Jenis Penggunaan
Jangka Waktu
Tingkat Sukubunga
Masa Tenggang
Cara Pembayaran Angsuran Pinjaman
Modal Kerja dan Investasi
Masing-masing 5 tahun
18% pertahun - menurun
Tidak ada
Pembayaran Pokok pinjaman dan bunga secara bulanan.
Dalam analisa keuangan besarnya angsuran dihitung secara tahunan.
Besarnya angsuran pokok pinjaman, adalah tetap. Sedangkan besarnya bunga dihitung dari sisa pokok pinjaman tahun sebelumnya.
Proyeksi Laba/Rugi Usaha
Dari kegiatan yang dijalani, setiap unit usaha mempunyai kemampuan menghasilkan laba yang berbeda dan terlihat mampu membayar angsuran dan bunga pinjaman yang menjadi kewajibannya masing-masing. Laba bersih (setelah dikurangi nilai bunga dan pajak) yang dihasilkan setiap jenis usaha pada tahun pertama dibandingkan dengan pembayaran angsuran pokok pinjaman adalah sebagai berikut:
Tabel 14
Perbandingan antara Angsuran Pinjaman dengan Laba
Jenis Usaha
Laba
Rp.
Angsuran
Rp.
Rasio Ang/Laba (%)
Petani
5.405.000
40.000
0,74
Perajin Tali
167.000
44.000
26,35
Pengepul
41.570.000
22.000.000
52,92
Industri Kecil
128.224.000
40.000.000
31,2
Eksportir
542.310.000
72.000.000
13,28
Dengan melihat rasio angsuran pokok pinjaman dengan laba bersih setiap usaha, maka untuk petani jangka waktu pengembalian pinjaman bisa dipendekkan menjadi 1 (satu) tahun. Sedangkan untuk eksportir bisa menjadi 2 (tahun), sementara itu untuk perajin tali, pengepul dan industri kecil tetap 5 (lima) tahun demi kelangsungan usaha.
Dari proyeksi laba/rugi juga dapat diketahui profitabilitas setiap jenis usaha yang dihitung dari rata-rata laba sebelum pajak pertahun dibagi dengan rata-rata penjualan pertahun, sebagai berikut:
Tabel 15
Laba,Penjualan dan Profitabilitas
Jenis Usaha
Laba pertahun
Rp.
Penjualan pertahun
Rp.
Profitabilitas (%)
Petani
6.310.600
15.665.200
40,28
Perajin Tali
214.800
3.481.200
6,17
Pengepul
62.670.200
946.872.200
6,62
Industri Kecil
185.581.000
1.392.459.000
13,33
Eksportir
901.410.400
3.759.639.600
23,98
Analisa Kelayakan Usaha
Untuk memastikan apakah suatu usaha itu layak diteruskan atau tidak perlu dibiayai, sangat tergantung dari prospek masa datang usaha tersebut.
Masa depan suatu usaha tidak satupun yang bisa memastikan, namun masa depan hanya bisa diestimasikan. Untuk mengestimasikan masa depan hal yang perlu diperhatikan adalah dalam penetapan berbagai asumsi yang realistis, baik asumsi mengenai kondisi pasar, aspek teknis serta aspek lainnya. Setelah asumsi-asumsi yang didasarkan dari pengalaman yang terjadi saat ini telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis aspek keuangan dengan memperhitungkan adanya perubahan nilai uang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pengurangan nilai uang dalam manajemen keuangan disebut Discounted Factor.
Perangkat analisis terhadap kelayakan aspek keuangan adalah:
1. Net Present Value (NPV)
Adalah suatu suatu metode penilaian investasi dengan mendiskontokan aliran kas di masa depan dengan suatu discounted factor tertentu yang merefleksikan biaya kesempatan modal. NPV diperoleh dengan cara mengurangkan semua pengeluaran investasi awal dengan aliran kas bersih di masa depan yang dinilai sekarang (present value). Apabila diperoleh nilai NPV positif, maka dapat dikatakan bahwa proyek yang dinilai layak dibiayai atau diteruskan. Jika nilai NPV negatif, maka proyek tidak layak.
Dari rencana proyeksi arus kas masing-masing usaha selama 5 (lima) tahun, diperoleh hasil perhitungan NPV dengan tingkat sukubunga 18% pertahun, sebagai berikut:
Tabel 16
Net Present Value (NPV)
Jenis Usaha
NPV (Rp.)
Petani
15.176.000
Perajin Tali
489.000
Pengepul
123.406.000
Industri Kecil
210.406.000
Eksportir
1.001.864.000
Hasil NPV tersebut adalah positif, artinya setiap usaha layak diteruskan dan dapat diberi kredit dengan tingkat suku bunga kredit 18% pertahun.
2. Internal Rate of Return (IRR)
Adalah suatu ukuran yang akan membandingkan nilai IRR dengan tingkat bunga atau tingkat keuntungan dari suatu investasi. IRR diperoleh pada suatu posisi di mana nilai NPV= nol.
Jika diperoleh nilai IRR lebih besar dari tingkat sukubunga bank, maka proyek ini layak diberikan kredit dengan sukubunga tersebut. Sebaliknya jika IRR lebih kecil dari sukubunga bank, maka proyek tidak layak.
Selanjutnya dalam perhitungan IRR ini juga dilakukan suatu analisis sensitifitas dalam upaya mengantisipasi adanya perubahan pendapatan atau pengeluaran. Analisis sensitifitas ini dilakukan dengan 2 (dua) kondisi, yaitu:
· Penerimaan tetap seperti rencana, tetapi pengeluaran bertambah sebesar 5 %. Dari kondisi ini diperoleh IRR-S1
· Pengeluaran tetap seperti rencana, tetapi penerimaan berkurang 5 %. Dari kondisi ini diperoleh IRR-S2.
Dari arus kas selama 5 tahun yang direncanakan, maka diperoleh nilai IRR, IRR-S1 dan IRR S-2 masing-masing usaha, yaitu:
Tabel 17
Internal Rate of Return
Jenis Usaha
IRR
IRR-S1
IRR-S2
Petani
582,92%
537,21%
508,3%
Perajin Tali
97,26%
28,82%
23,88%
Pengepul
50,7%
21,74%
17,98%
Industri Kecil
32,81%
21,98%
20,1%
Eksportir
41,72%
32,56%
30,28%
Dari perolehan IRR tersebut setiap usaha layak diberikan kredit dengan tingkat sukubunga 18% pertahun, meskipun terdapat kemungkinan berkurangnya penjualan atau bertambahnya biaya-biaya pengeluaran. Dari IRR sensitifitas dapat diperkirakan bahwa usaha dari Perajin Tali dan Pengepul sangat sensitive terhadap perubahan harga, yang ditengarai dengan perubahan IRR yang cukup besar. Oleh karena itu disarankan perlu adanya pemantauan secara rutin dari bank yang memberikan kredit kepada usaha perajin tali dan pengepul.
Sebagaimana dipahami, pemberian kredit kepada suatu usaha mempunyai resiko di dalam pengembalian kreditnya, karena adanya ketidak pastian di masa depan.
Semakin lama jangka waktu kredit maka semakin besar resikonya. Semakin singkat jangka waktu kredit semakin kecil resiko yang dihadapi bank. Dalam menentukan jangka waktu kredit, sebaiknya bank tetap memperhatikan kemampuan calon debitur. Karena semakin singkat jangka waktu kredit, maka debitur harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar angsuran pokok pinjaman beserta bunganya pada suatu periode tertentu. Untuk itu dengan melihat lamanya periode pengembalian investasi yang disebut dengan Payback Period serta likuiditas keuangan usaha debitur, maka pihak bank bisa memprediksi jangka waktu pengembalian kredit dan bunganya. Dari proyeksi arus kas akan dapat diketahui payback period serta kemungkinan lamanya jangka waktu kredit dari masing-masing usaha sebagai berikut di bawah.
Tabel 18
Payback Period
Jenis Usaha
Payback Period
Jangka Waktu Kredit
Petani
2 bulan
6 bulan
Perajin Tali
13 bulan
24 bulan
Pengepul
22 bulan
24 bulan
Industri Kecil
34 bulan
36 bulan
Eksportir
28 bulan
36 bulan
Setelah memprediksi jangka waktu kredit, langkah selanjutnya perlu memperhatikan likuiditas keuangan yang dapat dilihat dari posisi Kas Akhir pada tahun bersangkutan dalam proyeksi arus kas dengan merubah jangka waktu kredit. Apabila posisi kas akhir tersebut lebih besar dari modal kerja permanen, maka kredit dengan jangka waktu tersebut dapat direalisasikan. Dari simulasi perubahan jangka waktu kredit, maka diperoleh kondisi keuangan setiap usaha sebagai berikut:
Tabel 19
Hasil Simulasi Perubahan Jangka Waktu Kredit
Usaha
Jk.Waktu Kredit
Kas Akhir
Rp000
Modal Kerja
Rp000
IRR
Petani
1 th
5.955
700
583%
Perajin
2 th
364
222
97,1%
Pengepul
2 th
62.868
16.930
50,2%
Ind.Kecil
3 th
477.000
162.360
32,5%
Eksportir
3 th
1.832.074
201.000
41,5%
Dari tabel tersebut di atas terlihat, bahwa dengan memperhitungkan jangka waktu kredit diperoleh nilai kas akhir pada tahun bersangkutan ternyata masih lebih besar dari kebutuhan modal kerja permanen. Di samping itu nilai IRR setiap usaha juga lebih besar dari bunga kredit, maka bisa disimpulkan jangka waktu kredit yang diberikan untuk setiap usaha bisa digunakan.
V. ASPEK SOSIAL EKONOMI & DAMPAK LINGKUNGAN
Aspek Sosial Ekonomi
Keberadaan usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas menimbulkan efek positif terhadap aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar usaha-usaha tersebut.
Di daerah Rawa Pening yang pada awalnya mata pencaharian penduduknya adalah petani ikan, padi, palawija dan buah-buahan, dengan adanya usaha pemanfaatan eceng gondok, maka pendapatan mereka semakin bertambah. Demikian pula para wanita yang semula hanya sebagai ibu rumahtangga, dengan adanya proyek ini peranannya semakin bertambah yakni mampu memproduksi tali eceng gondok yang menghasilkan tambahan pendapatan.
Di daerah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya, para pengusaha industri kecil kerajinan maupun industri kecil mebel mampu menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat di sekelilingnya. Secara langsung telah meningkatkan pendapatan masyarakat.
Para eksportir di Yogyakarta maupun Surakarta merupakan pelaku usaha yang selain mampu menciptakan kesempatan kerja, juga mampu mengajak para industri kecil dan pekerjanya untuk bekerja dengan rajin dan semangat tinggi dalam menciptakan produk yang berkualitas tinggi sesuai permintaan konsumen di mancanegara. Perubahan positif terhadap aspek sosial ekonomi ini akan semakin meningkat apabila pihak perbankan dapat berperan mengembangkan usaha-usaha tersebut baik dalam pemberian kredit yang tepat guna maupun bantuan teknis lainnya.
Aspek Dampak Lingkungan
Eceng gondok di berbagai daerah seringkali dianggap sebagai masalah karena menutup saluran irigasi atau pembuangan yang mengakibatkan banjir.
Penggunaan eceng gondok sebagai bahan baku industri kerajinan dan mebel justru merupakan solusi terhadap masalah tersebut. Dengan memotong batang eceng gondok secara rutin dalam jumlah yang besar, maka pertumbuhan eceng gondok dapat terjaga. Dengan demikian daerah perairan akan terjaga dari bahaya banjir.
Industri kerajinan maupun mebel yang menggunakan bahan baku dari eceng gondok hanya memanfaatkan kayu dari pohon industri seperti sengon, sungkai yang mudah dibudidayakan dan tidak merusak lingkungan hutan. Di samping itu sisa bahan baku dari industri ini dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Dengan demikian ditinjau dari aspek dampak lingkungan, proyek ini justru berdampak positif.
VI. PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup dari analisis terhadap usaha mikro, kecil dan menengah yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pelaku usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas adalah “petani”, perajin tali, pengepul, industri kecil kerajinan dan mebel serta eksportir kerajinan dan mebel.
2. Di Jawa Tengah “petani” yang memanen eceng gondok berada di daerah Rawa Pening - Kabupaten Semarang, Kabupaten Purworejo serta Kabupaten Cilacap. Sedangkan industri kecil dan eksportir kerajinan tersebar di Kabupaten Bantul-Yogyakarta. Adapun industri kecil dan eksportir mebel dalam jumlah yang banyak berada di Kabupaten Sukoharjo.
3. Tanaman eceng gondok dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tali eceng gondok dalam bentuk klabangan atau kepangan dan juga ditenun. Selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kerajinan tangan dan mebel yang kuat dan artistik.
4. Produk berbahan baku eceng gondok yang terbanyak diminta oleh konsumen dari mancanegara dengan volume permintaan yang cukup banyak. Diperkirakan produk-produk ini masih banyak diminati konsumen mengingat produk sejenis yang berbahan baku rotan sudah semakin terbatas jumlahnya.
5. Ditinjau dari aspek teknis dan produksi, produk berbahan baku eceng gondok tidak ada kendala yang berarti mengingat kemudahan dalam penyediaan bahan baku. Di samping itu dalam proses produksinya cukup mudah dan dapat dikerjakan oleh perajin tanpa kesulitan.
6. Ketersediaan bahan baku secara jangka panjang, mendukung kelangsungan usaha ini.
7. Usaha-usaha yang terkait dengan eceng gondok ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
8. Dari aspek keuangan, setiap jenis atau tingkat usaha menunjukkan hasil yang layak untuk terus dikembangkan dan dibiayai oleh bank dengan tingkat sukubunga antara 18% s.d 20% pertahun. Kelayakan usaha ini bisa dilihat dari analisis Net Present Value (NPV) yang positif dan Internal Rate of Return (IRR) yang masih di atas tingkat sukubunga kredit bank.
9. Analisis terhadap aspek sosial, ekonomi dan dampak lingkungan menunjukkan hasil yang positif. Mengingat usaha-usaha ini mampu meningkatkan pendapatan masayarakat di sekelilingnya. Selain itu akan dapat memberikan penghasilan bagi pemerintah daerah dari pajak yang dihasilkan oleh usaha-usaha ini. Dengan pengambilan eceng gondok secara rutin, maka tingkat pertumbuhannya dapat dikendalikan, sehingga tidak akan menjadi pengganggu daerah perairan.
Saran
Untuk melengkapi tulisan ini dikemukakan berbagai saran dalam upaya mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai berikut:
1. Usaha-usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas harus terus ditumbuh-kembangkan baik oleh pemerintah daerah maupun perbankan. Dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemberian perijinan serta perkreditan yang memadai.
2. Upaya mengikutsertakan pelaku usaha dalam pameran-pameran baik di dalam maupun luar negeri sebaiknya terus dilanjutkan agar produk berbahan baku eceng gondok semakin dikenal luas oleh konsumen dan meningkatkan volume permintaan.
3. Dalam memberikan kesempatan kerja, maka pola hubungan di antara pelaku usaha yang selama ini terjadi, sebaiknya tetap dipertahankan. Harus dijaga agar usaha berskala besar tetap memberikan kesempatan kepada industri kecil, pengpul, perajin dan “petani” menjalankan usahanya tanpa adanya intervensi.
4. Meskipun demikian, bagi pihak bank yang akan memberikan kredit kepada usaha-usaha ini dianjurkan untuk menciptakan suatu pola kemitraan di antara usaha-usaha tersebut. Pola kemitraan ini dibentuk dengan suatu tujuan untuk memastikan kelanjutan usaha dengan adanya suatu jaminan pasar yang jelas dari usaha di tingkat yang lebih besar.
5. Pemberian kredit kepada “petani”, perajin tali dan pengepul dapat menggunakan pola “Kredit Kelompok”, di mana Perjanjian Kredit ditandatangani oleh Ketua Kelompok yang diberi kuasa oleh para anggota kelompok. Untuk keamanan kredit, perlu ditegaskan kepada seluruh anggota kelompok adanya jaminan paripasu atau tanggung renteng yang menjadi kewajiban semua anggota. Pihak bank sebaiknya meminta kepastian pasar dari industri kecil berupa order pembelian secara tertulis kepada pengepul.
6. Pemberian kredit kepada industri kecil dan eksportir sebaiknya disertai dengan suatu Nota Kesepakatan di antara eksportir dengan industri kecil untuk menjamin kelangsungan pasar bagi industri kecil. Nota Kesepakatan tersebut mencakup tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling menguntungkan.
Dalam tahun-tahun terakhir ini ekspor dari produk industri kerajinan dan mebel dengan bahan baku dari kayu terutama kayu jati semakin menurun jumlahnya, mengingat semakin sedikit pohon jati yang bisa ditebang. Perkembangan tersebut terutama terjadi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Pada saat ini hutan jati sedang dalam proses pembenihan atau penanaman kembali, yang diperkirakan baru dapat dipanen sekitar 30 hingga 60 tahun yang akan datang.
Di samping itu adanya ketentuan internasional mengenai Ecolabelling bahwa setiap produk yang menggunakan hasil hutan harus disertai persyaratan tebang pilih atau penanaman kembali jenis kayu yang dimanfaatkan. Kondisi ini juga menurunkan volume ekspor kerajinan dan mebel dari kayu hutan.
Dengan kondisi tersebut di atas tidak berlebihan jika ekspor produk kerajinan dan mebel perlu ditingkatkan kembali dengan produksi yang menggunakan kayu dari hutan industri maupun bahan baku lainnya yang mudah didapat dan murah.
Salah satu bahan baku yang cocok untuk produk kerajinan maupun mebel yang sangat mudah didapat dan murah berasal dari tanaman yang tumbuh di perairan yaitu Eceng Gondok juga dikenal dengan nama Bengok atau dalam bahasa latin disebut Eichornia Crassipes, dan dalam bahasa Malaysia disebut Keladi Bunting. Tanaman ini bisa ditemukan di setiap perairan, sungai, waduk, rawa di seluruh pelosok Nusantara dalam jumlah yang sangat banyak.
Industri kerajinan maupun mebel yang memanfaatkan eceng gondok memiliki daya saing yang tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Tenaga kerja yang berkecimpung dalam usaha ini dimulai dari “petani”, perajin tali, pengepul, penganyam, desainer, usaha kecil, usaha menengah sampai eksportir.
Disebut “petani” dalam tanda petik, mengingat orang-orang tersebut sebenarnya tidak bertani namun hanya sebagai pengambil eceng gondok.
Atau dengan kata lain, eceng gondok tidak dibudidayakan namun tetap dipelihara dengan memotong batang yang cukup umur. Pada akhirnya tanaman eceng gondok tersebut akan bertunas kembali. Eceng gondok yang dipanen oleh “petani” selanjutnya dijual kepada Pengepul atau Perajin tali eceng gondok. Oleh pengepul, eceng gondok basah dapat langsung dijual kepada industri kecil kerajinan. Sementara itu perajin tali eceng gondok bisa menjualnya kepada industri kecil, industri menengah produk kerajinan maupun mebel.
Dari hasil wawancara dengan para pelaku usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas, ternyata belum ada suatu hubungan kemitraan yang dikuatkan dengan Nota Kesepakatan Kerjasama. Hubungan bisnis di antara mereka merupakan hubungan dagang biasa, bahkan di antara pelaku yang setara bisa terjadi persaingan pasar yang sangat bebas. Artinya, siapa yang mempunyai kreatifitas serta mutu yang bagus, akan memiliki peluang yang lebih baik dibandingkan lainnya. Dengan demikian setiap pelaku usaha akan selalu berlomba untuk meningkatkan mutu, baik dalam kegiatan pelayanan maupun produk.
Untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas, maka tulisan ini akan mengulas berbagai aspek kelayakan usaha mulai dari “petani” hingga usaha kecil.
Aspek kelayakan usaha meliputi aspek pasar, aspek teknis produksi, aspek keuangan, aspek sosial ekonomi dan dampak lingkungan. Di samping analisis terhadap aspek kelayakan, diberikan pula berbagai saran kepada semua pihak terutama perbankan yang berminat membiayai proyek ini. Tulisan ini merupakan rangkuman hasil penelitian terhadap beberapa “petani”, perajin tali serta pengepul eceng gondok di Rawa Pening Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Juga kepada industri kecil dan usaha menengah kerajinan serta mebel eceng gondok di Kabupaten Bantul DI Yogyakarta serta Trangsan Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
II. ASPEK PEMASARAN
Penggunaan eceng gondok sebagai bahan baku produk kerajinan maupun mebel mulai dikenal sejak tahun 1990-an. Namun permintaan produk mulai meningkat pada tahun 1995. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 juga turut mempengaruhi permintaan produk ini. Pada saat ini pemasaran produk kerajinan dan mebel dengan bahan baku eceng gondok sudah mulai berkembang bersamaan dengan produk berbahan baku rotan, pelepah pisang, pandan dan sebagainya. Permintaan dari mancanegara terus meningkat sejalan dengan membaiknya situasi keamanan, politik.
Data dari Kantor Bank Indonesia Semarang tahun 2002 sd 2005 menunjukkan pertumbuhan ekspor produk kerajinan dan mebel yang dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok yakni Kayu, Barang dari Kayu, kemudian kelompok Jerami/Bahan Anyaman serta Perabot & Penerangan Rumah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.
Tabel 1
Pertumbuhan Ekspor Produk Kerajinan dan Mebel
Tahun 2002 sd 2005 (Februari)
Kelompok Produk
2002
2003
2004
Th.2005
Febr.
US$000
US$000
US$000
US$000
Kayu & Barang dari Kayu
225.269
234.999
228.077
53.407
Perabot & Penerangan Rumah
444.026
527.190
468.929
104.612
Jerami/Anyaman
3.968
4.366
7.515
805
Sumber : Bank Indonesia Semarang, 2005
Sementara itu salah satu eksportir di DI Yogyakarta saat ini mampu mengekspor 3 s.d 5 kontainer per minggu dengan 30% di antaranya berupa produk kerajinan berbahan baku eceng gondok dengan negara-negara tujuan antara lain Amerika Serikat, Kanada, Australia dan negara-negara di Eropa. Sedangkan salah satu eksportir di Kabupaten Sukoharjo (termasuk eks.Karesidenan Surakarta) mampu mengirim 6 kontainer per bulan produk mebel dengan 20% s.d 30% berbahan baku eceng gondok, negara-negara tujuan yang sama dengan produk kerajinan. Hingga saat ini para eksportir tersebut masih memperoleh order dari berbagai negara untuk produk-produk kerajinan dan mebel. Dengan memperhatikan besarnya volume ekspor dari tahun ke tahun, maka potensi pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku kerajinan maupun mebel akan memberikan peluang yang cukup besar bagi para pelaku usaha dengan eceng gondok sebagai komoditas.
Apabila diuraikan lebih lanjut, maka permintaan komoditas eceng gondok di setiap pelaku usaha adalah sebagai berikut.
A. Tingkat Petani
Permintaan eceng gondok basah yang dipanen oleh petani (masyarakat setempat) berasal dari para pengepul serta perajin tali. Dari wawancara dengan petani di daerah Rawa Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang, diperoleh informasi bahwa setiap petani mampu mengumpulkan dan menjual sekitar 250 kg sampai 300 kg eceng gondok basah perhari dengan harga Rp.150,- per kilogram dengan pembayaran tunai. Dengan demikian setiap petani bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp.45.000,- perhari.
B. Tingkat Perajin Tali
Perajin tali memproduksi tali/ klabangan dari eceng gondok yang telah dijemur selama 4-5 hari. Setiap hari seorang perajin tali mampu memproduksi hingga 2 kilogram klabangan eceng gondok. Untuk memproduksi 1 kilogram tali/klabangan eceng gondok diperlukan 12 kilogram eceng gondok basah. Produk ini oleh para perajin dijual kepada para pengepul dengan harga Rp.5.000,- per kilogram dengan pembayaran tunai atau pembayaran berjangka waktu maksimal seminggu setelah barang diserahkan.
C. Tingkat Pengepul
Pengepul adalah orang yang membeli eceng gondok basah dari petani atau klabangan eceng gondok dari perajin tali. Salah seorang pengepul yang khusus menjual eceng gondok basah setiap hari mampu menjual sebanyak 8 ton kepada industri kecil kerajinan di Bantul Yogyakarta dengan harga jual Rp.237,50 per kilogram. Sedangkan pengepul yang menjual tali/klabangan eceng gondok mampu menjual sekitar 500 kg/hari.
D. Tingkat Industri Kecil
Terdapat 2 (dua) jenis Industri kecil yang menggeluti komoditas eceng gondok, yaitu: (a) industri kecil yang memproduksi kerajinan tangan seperti tenun, keranjang, tas, hiasan dinding dsb;(b) industri mebel yang memproduksi perabot rumahtangga antara lain kursi, sofa, lemari dsb.
Industri kecil yang termasuk type (a) biasanya membeli eceng gondok basah yang dijemur sendiri, kemudian eceng gondok kering diserahkan kepada para ibu rumah tangga atau keluarganya untuk diproses lebih lanjut menjadi tali/klabangan. Sedangkan industri kecil type (b) lebih dominan membeli tali/klabangan eceng gondok. Industri kecil tersebut biasanya memperoleh order dari para eksportir (usaha menengah) yang mereka sebut dengan vendor.
Produk dari industri kecil ini jenisnya beragam, untuk produk berupa kerajinan tangan harga jual berkisar antara Rp.5.000 s.d Rp.250.000,- per unit. Order dari eksportir mencapai 2400 unit per bulan. Sedangkan industri mebel memperoleh order sekitar 200 unit perbulan dengan harga antara Rp.200.000 s.d Rp.400.000,- per unit.
Adapun cara pembayaran dari eksportir yang dilakukan adalah secara tunai, di mana tahap pertama memberikan uang muka sebesar 30% dari nilai kontrak sedangkan sisanya setelah barang diserahkan.
E. Tingkat Industri Menengah/Eksportir
Seperti telah disebutkan di atas para eksportir umumnya menjual sebagian besar produknya untuk pasar luar negeri baik berupa kerajinan maupun mebel. Usaha-usaha di tingkat inilah yang menjadi tumpuan pasar dari pelaku usaha dengan komoditas eceng gondok mulai dari petani, pengepul dan usaha kecil. Adapun pasar dari para eksportir ini adalah buyer atau pembeli dari mancanegara baik yang memiliki perwakilan di Indonesia maupun langsung dari negaranya.
Produk berupa mebel maupun barang kerajinan yang terbuat dari kayu, rotan, eceng gondok, pelepah pisang, pandan dan sebagainya merupakan produk-produk yang diminati oleh masyarakat di negara-negara Eropa, Australia dan Amerika juga Asia.
Rata-rata setiap eksportir telah mempunyai pelanggan masing-masing dan meskipun belum ada asosiasi di antara mereka, namun mereka telah memiliki komitmen yang sama dengan penetapan harga yang relatif sama untuk produk-produk sejenis. Dengan demikian tidak ada suatu persaingan harga yang akan berakibat buruk terhadap usaha mereka.
Volume pengiriman barang untuk perusahaan yang memproduksi kerajinan mencapai 3-5 kontainer perminggu. Sedangkan produk mebel antara 4 - 6 kontainer per bulan.
Harga jual dari eksportir kepada buyer cukup beragam, di mana untuk produk kerajinan tangan berkisar antara Rp.3000,- sampai dengan Rp.300.000,- perunit. Sedangkan untuk produk mebel antara Rp.400.000,- sampai dengan Rp.1.300.000,- perunit. Para eksportir ini tidak membedakan antara harga jual untuk ekspor maupun lokal. Biasanya persentase penjualan untuk lokal sangat sedikit dibandingkan ekspor. Pada umumnya bagi buyer yang baru pertama kali dikenal oleh eksportir, diharuskan memberikan uang muka sebesar 50% dari nilai pembelian (bagi buyer pelanggan cukup memberikan uang muka sebesar 30%) berdasarkan Purchase Order (PO) dan sisanya ditransfer melalui bank apabila barang telah diterima di tempat tujuan. Jalur distribusi produk dan cara pembayaran dari setiap unit usaha dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Jalur Distribusi Produk Dan Cara Pembayaran
Produk
Penjual
Pembeli
Pembayaran
Eceng Gondok Basah
Petani
Perajin Tali,
Pengepul
Tunai
Eceng Gondok Basah
Pengepul
Usaha Kecil
Jangka Waktu 1 minggu
Eceng Gondok Kering
Usaha Kecil
Perajin Tali
Dihitung dengan produk tali
Tali/Klabangan
Perajin Tali
Pengepul
Jangka Waktu 1 minggu
Tali/Klabangan
Pengepul
Usaha Kecil
Tunai
Kerajinan Tangan & Mebel (Barang dalam Proses)
Usaha Kecil
Eksportir
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Kerajinan Tangan dan Mebel
Usaha Kecil
Eksportir
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Kerajinan Tangan dan Mebel
Eksportir
Buyer Mancanegara
Uang Muka dan lunas saat barang diserahkan
Sumber : Data Primer (2005)
Antara petani, pengepul dan usaha kecil di dalam transaksinya hanya didasarkan prinsip jual beli konvensional dengan mengedepankan kepercayaan. Sebagai pengikat kelangsungan hubungan usaha di antara petani dengan pengepul adalah adanya pinjaman dari pengepul kepada petani yang diimplementasikan dalam bentuk pengadaan perahu untuk pengambilan eceng gondok di rawa. Selanjutnya petani akan mengembalikan pinjaman tersebut dengan eceng gondok dalam jumlah yang telah disepakati.
Kemudian di antara pengepul dan usaha kecil juga sering terjadi pinjam meminjam uang di antara mereka. Kerjasama tertulis antara usaha kecil dengan eksportir hanya berupa Purchase Order serta pengawasan terhadap kualitas produk oleh pihak eksportir. Adapun antara eksportir dengan buyer juga dalam bentuk Purchase Order dengan pemesanan melalui faksimili, telpon atau datang ke pabrik dan transaksi pembayaran melalui transfer antar bank tanpa melalui mekanisme Letter of Credit (L/C). Kemudian pihak buyer juga memberikan supervisi yang bertujuan menjaga kualitas produk. Kondisi semacam ini telah berlangsung lama dan berjalan dengan baik. Apabila produk berupa kerajinan maupun mebel telah terkirim dan ternyata tidak sesuai dengan pesanan baik bentuk maupun kualitasnya, maka biasanya oleh buyer tidak dikembalikan, namun tetap diterima dengan pemotongan harga. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya hambatan dari pihak-pihak terkait.
Bagi lembaga keuangan terutama bank umum yang akan membiayai usaha seperti ini dianjurkan memberikan kredit kepada 3 (tiga) pelaku usaha sekaligus, yaitu pengepul, industri kecil dan eksportir dengan mengembangkan konsep kemitraan usaha di antara mereka.
Kemitraan usaha yang dikuatkan dengan suatu Nota Kesepakatan di antara mereka akan menjamin kontinuitas industri yang menggunakan bahan baku eceng gondok.
Sedangkan untuk pelaku usaha yang lain yaitu perajin tali dan petani akan lebih cocok ditangani oleh BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dengan pola kredit kelompok. Secara sederhana, mekanisme kredit kelompok yaitu perjanjian kredit dilakukan oleh ketua kelompok petani berdasarkan Surat Kuasa dari para petani termasuk menerima uang atas nama para petani. Untuk menjamin para pengepul selalu mendapatkan eceng gondok basah maupun tali dari petani dan perajin tali, maka dalam pemberian kredit oleh BPR sebaiknya para pengepul ini diikutsertakan sebagai avalis bagi para perajin tali maupun petani.
Akan lebih baik jika para pengepul ini disepakati dan diangkat oleh perajin tali maupun petani sebagai ketua kelompok untuk mendapatkan kredit dari bank.
Sebagai kendala yang merupakan potensi masalah dalam aspek pemasaran ini adalah jika terjadi kerusuhan di dalam negeri seperti adanya teror bom, demonstrasi yang kemudian merambas kepada ketidakstabilan politik yang semuanya mengakibatkan dibatasinya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dengan semakin berkurangnya wisatawan berkunjung, maka berkurang pula peluang para eksportir mempromosikan produknya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, maka para eksportir ini secara bersama-sama atau sendiri-sendiri mengikuti pameran ke luar negeri. Kegiatan pameran tersebut biasanya difasilitasi oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Pemerintah Daerah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), asosiasi-asosiasi dan sebagainya.
Dari pameran-pameran inilah biasanya terjadi suatu transaksi pesanan baik produk kerajinan maupun mebel.
III. ASPEK TEKNIS & PRODUKSI
Kondisi lingkungan seringkali mempengaruhi pola hidup atau kebiasaan penduduk di suatu daerah termasuk di dalamnya kegiatan untuk memperoleh pendapatan dengan cara melakukan kegiatan tertentu. Demikian pula halnya yang terjadi pada kegiatan usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas.
Daerah Rawa Pening merupakan daerah pertanian, sehingga mata pencaharian penduduk yang utama adalah bertani. Oleh karena itu penduduk di daerah ini hanya menganggap eceng gondok sebagai komoditas untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Meskipun tanaman eceng gondok ini sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kerajinan dan mebel sejak tahun 1990 an, namun penduduk di daerah Rawa Pening hingga saat ini belum terdorong untuk memproduksi barang kerajinan maupun mebel sendiri. Kegiatan mereka mengolah eceng gondok hanya sebatas membuat tali klabangan.
Kota Yogyakarta dan Surakarta atau Solo sejak dahulu kala sudah terkenal sebagai daerah industri kerajinan dan mebel dalam skala kecil maupun menengah. Oleh karena itu sebagian kelompok masyarakat di dua daerah ini memiliki kebiasaan untuk menghasilkan produk-produk yang bisa memberikan nilai tambah yang tinggi.
Di Kabupaten Bantul – Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, komoditas eceng gondok digunakan sebagai bahan baku pembuatan aneka macam kerajinan tangan (souvenir) seperti tas, keranjang, hiasan dsb. Sedangkan di eks. Karesidenan Surakarta khususnya di Kabupaten Sukoharjo, eceng gondok dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi mebel.
Keberhasilan pemasaran produk kerajinan maupun mebel yang menggunakan bahan baku eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pelaku usaha dalam kegiatan produksi.
Konsistensi dan keahlian baik dari petani, perajin tali, para pekerja di industri kecil maupun eksportir sangat menunjang kelangsungan usaha produk kerajinan dan mebel.
Aspek teknis dan produksi dari masing-masing pelaku usaha dapat diuraikan sebagai berikut :.
A. Petani Eceng Gondok
Wilayah Rawa Pening Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang merupakan lahan enceng gondok dengan luas tak kurang dari 1.000 hektar. Eceng gondok dari daerah ini memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daerah Cilacap atau Purworejo, mengingat perairan yang ditumbuhi eceng gondok belum tercemar oleh limbah industri.
Petani atau pengambil eceng gondok di wilayah ini mencapai 45 orang. Mereka mengambil eceng di Rawa Pening sudah belasan tahun dengan menggunakan sarana produksi berupa perahu. Pada saat ini harga 1 (satu) unit perahu sekitar Rp 250.000,-.
Proses produksi atau memanen eceng gondok harus mengikuti aturan tertentu untuk mendapatkan bahan baku yang memenuhi syarat bagi industri kerajinan maupun mebel. Eceng gondok yang siap dipanen harus cukup umur yang ditandai dengan batang berwarna hijau tua dengan panjang dari akar di atas 40 sentimeter. Cara pengambilan eceng gondok dengan memotong batang di atas akar menggunakan sabit . Dengan cara demikian rumpun eceng gondok selalu bertunas kembali. Batang-batang eceng gondok tersebut kemudian digabung dan diikat dalam jumlah tertentu (dalam diameter sekitar 1 pelukan tangan orang dewasa). Selanjutnya dimuat dalam perahu dan dibawa ke tepi rawa.
Di daratan, ikatan-ikatan eceng gondok ditumpuk, sebelum diangkut ke atas truk ditimbang terlebih dahulu untuk memastikan nilai uang yang akan diterima petani.
Selama ini rata-rata setiap petani mampu memanen eceng basah seberat 2,5 sampai 3 kwintal per hari yang langsung dijual kepada para pengepul atau perajin tali. Kondisi ini masih bisa dipertahankan sepanjang waktu meskipun pada musim kemarau tanaman eceng gondok agak berkurang.
Dengan memperhitungkan tingkat pengeluaran keluarga petani, maka setiap petani memiliki potensi menabung sebesar Rp.10.000,- sampai Rp.20.000,- per hari yang berarti pula sebagai potensi dana pihak ketiga bagi BPR.
B. Perajin Tali Eceng Gondok
Pembuatan tali eceng gondok di daerah Rawa Pening biasanya dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan anak perempuan. Hal ini mengingat membuat tali eceng gondok sama dengan mengelabang rambut yang telah biasa mereka lakukan. Karena itu tali eceng gondok juga disebut kelabangan. Di daerah ini tak kurang dari 300 orang melakukan pekerjaan sampingan membuat tali eceng gondok.
Meskipun kelihatannya mudah, tetapi dalam pembuatan tali eceng gondok tidak bisa dilakukan dengan cara sembarangan namun harus dengan teknik tertentu. Produk tali eceng gondok yang bagus kualitasnya dapat ditengarai dari warna coklat tua, bersih dan tidak berbintik hitam. Selanjutnya ciri lainnya adalah batang eceng gondok terlihat menggelembung, jika dipijat seperti berisi kapas, kemudian tidak tampak adanya sambungan.
Proses pembuatan tali eceng gondok adalah sebagai berikut:
1. Penjemuran batang eceng gondok di bawah sinar matahari selama 4 sampai 5 hari. Apabila hujan turun, maka eceng gondok tersebut perlu diteduhkan. Hasil eceng gondok kering yang bagus adalah apabila selama 4 hari berturut-turut tidak kehujanan.
2. Pengentasan eceng gondok kering dilakukan pada pagi hari setelah mendapatkan pengembunan pada malam hari. Apabila pengambilan eceng gondok kering dilakukan pada siang hari, maka batang eceng gondok akan mudah putus (rapuh).
3. Pembuatan tali dengan cara mengelabang 3 (tiga batang eceng gondok kering). Jika sisa ujung batang tinggal 4 cm sampai dengan 6 cm, maka harus disambung dengan batang baru. Harus diupayakan ujung batang pada sambungan tidak tampak keluar dari permukaan tali.
4. Apabila sudah cukup panjang maka tali klabangan tersebut digulung pada kayu yang disusun sedemikan rupa sehingga mudah dilepas dari tali yang sudah digulung.
5. Proses pengelabangan terus dilakukan hingga mencapai panjang sekitar 23 meter yang setara dengan berat 1 kilogram.
6. Proses terakir adalah melepas kayu dari gulungan tali, dan tali eceng gondok disimpan siap dijual.
Dalam pembuatan dan penjualan tali ini, terdapat perkiraan rumusan yang bisa dijadikan acuan untuk daerah Rawa Pening, yaitu:
· Untuk membuat 1 kilogram tali diperlukan sekitar 12 kilogram eceng gondok basah
· Setiap tenaga kerja bisa membuat 1 sampai dengan 2 kilogram tali dalam waktu 1 hari.
· Mengupahkan pembuatan tali dengan biaya sebesar Rp.2.700,- per kilogram tali.
· Harga jual tali kepada pengepul adalah Rp.5.000,- per kilogram tali
· Harga jual tali kepada industri kecil mebel atau kerajinan adalah Rp.6.250,- per kilogram tali.
C. Pengepul
Di daerah Rawa Pening, orang yang mempunyai profesi sebagai pengepul sekitar 9 orang, dan 2 (dua) di antaranya bisa dikatakan lebih menonjol dibandingkan tujuh lainnya. Para pengepul ini membeli eceng gondok basah dari petani atau tali eceng gondok dari perajin tali. Kemudian menjualnya kepada industri kecil kerajinan maupun mebel.
Di tingkat pengepul proses produksi yang terjadi adalah:
1. Penimbangan eceng gondok basah atau tali eceng gondok untuk memastikan besarnya biaya pembelian kepada petani atau perajin tali.
2. Pemuatan eceng gondok basah atau tali ke atas kendaraan.
3. Pengiriman produk ke tempat tujuan. Sebagai salah satu contoh, pengiriman eceng gondok kepada industri kecil kerajinan di Yogyakarta langsung diantarkan ke daerah pantai Samas dan Pantai Parangkusumo
4. Sampai di daerah pantai tersebut, eceng gondok basah diturunkan dari truk dan ditimbang bersama pihak dari industri kecil untuk memastikan nilai jualnya.
Adapun jenis serta besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pengepul eceng gondok basah terdiri dari:
· Pembelian eceng gondok basah sebesar Rp.150,- perkilogram dengan kapasitas 8.000 kilogram per hari
· Ongkos muat ke atas truk sebesar Rp.40.000,- per truk.
· Ongkos bongkar dari truk sebesar Rp.30.000,-per truk
· Ongkos truk dari Rawa Pening ke Yogyakarta sebesar Rp.205.000,- per truk
· Berat muatan sekitar 4.000 kilogram per truk.
Sedangkan untuk penjualan tali eceng gondok biasanya pembeli datang sendiri ke gudang para pengepul.
D. Industri Kecil
Kunci sukses industri kecil yang mengolah eceng gondok sebagai bahan baku pembuatan barang kerajinan tangan dan mebel adalah keahlian dalam mendisain produk, kesabaran dan ketelitian. Eceng gondok yang diolah dengan baik akan menghasilkan produk berupa tali klabangan yang cukup kuat, kekenyalan seempuk tali rafia yang diisi kapuk dan tampilan permukaan yang bagus. Tingkat keawetan produk yang menggunakan bahan baku eceng gondok bisa disetarakan dengan rotan.
Selain dibuat tali klabangan, batang eceng gondok kering bisa ditenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) atau langsung dianyam pada benda lain seperti, botol, guci, peti kayu dan sebagainya. Dengan tingkat kegunaan yang sangat beragam, maka eceng gondok sangat cocok sebagai bahan baku produk kerajinan tangan dan mebel. Dibandingkan bahan lain seperti pelepah pisang, pandan dan sejenisnya, pada saat ini konsumen mancanegara lebih menyukai produk yang menggunakan bahan dasar eceng gondok. Hal ini terlihat dari ragam produk pada outlet salah satu eksportir yang menyediakan produk sisa ekspor, di mana sisa produk dari eceng gondok lebih sedikit jumlahnya dibandingkan sisa produk dari bahan lainnya.
Berikut ini akan disajikan proses produksi (1) kerajinan terbuat dari eceng gondok dari salah satu industri kecil di Kabupaten Bantul- DI Yogyakarta dan (2) Produk mebel dari eceng gondok dari industri kecil mebel di Kabupaten Sukoharjo wilayah Karesidenan Surakarta.
Tabel 3
Proses produksi pada Industri kerajinan dari eceng gondok
No
Kegiatan
Keterangan
1
Penjemuran Eceng
· Dijemur di daerah pantai berjarak 100 meter dari garis pantai.
· Dikerjakan oleh 6 orang tenaga borong dengan upah Rp.120.000/truk
· Lama penjemuran 4 hari
· Dari 12 kilogram eceng basah setelah dijemur menjadi 1 kilogram eceng kering
2
Mendisain/ merancang produk
· Disain produk bisa dari eksportir atau pengusaha sendiri
· Disain produk perlu disepakati oleh pihak eksportir
3
Penyiapan bahan
· Papan kayu sungkai atau tripleks, botol/guci/kendi dan sejenisnya sebagai pola, paku, benang, lem, CO2 cair, obat anti jamur, cat atau bahan melamin, amplas dan sebagainya
· Tali eceng yang dikerjakan oleh ibu rumahtangga dengan upah sekitar Rp2.500,-/ kilogram
· Terdapat sekitar 700 orang ibu rumahtangga yang dibina untuk membuat tali klabangan
4
Pembuatan Pola
· Berupa peti kayu segala ukuran sesuai permintaan
· Pola keranjang sampah dari tripleks
· Pola-pola lainnya
· Peralatan yang digunakan berupa, gergaji, bor, alat potong dsb. Dengan nilai total Rp.20 juta,-.
5
Penganyaman Pola
· Melapisi pola-pola yang telah dibuat dengan cara menganyamkan tali atau batang kering eceng gondok.
· Bahan penolong yang digunakan berupa lem, paku, benang.
· Kegiatan ini dilakukan oleh sekitar 60 orang tenaga borong yang bekerja di tempat tinggal mereka masing-masing.
· Upah borong tergantung dari besar kecilnya produk serta tingkat kesulitan pekerjaan. Mulai dari Rp.500,- sampai dengan Rp.30.000,- per unit.
· Untuk produk 1 set keranjang pakaian terdiri dari 3 unit berbagai ukuran memerlukan 8 kilogram tali eceng gondok.
· Pada proses ini pihak dari industri kecil melakukan supervisi agar produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
6
Penjemuran
· Produk yang dihasilkan perajin masih dalam bentuk working in process
· Diangkut ke workshop milik industri kecil
· Dibersihkan dengan menggunakan CO2 cair untuk menghilangkan bercak hitam atau memutihkan anyaman tali eceng gondok.
· Disemprot dengan obat anti jamur
· Dijemur selama 8 jam
7
Proses Finishing
· Setelah dijemur, produk dibrongot yakni membersihkan serat-serat yang terlepas dari anyaman tali dengan cara dibakar menggunakan alat penyembur api kecil.
· Diberi warna sesuai dengan pesanan
· Diampelas dengan amplas yang halus dan disikat untuk menghilangkan bubuk pewarna.
· Dilapisi dengan melamin
· Dijemur kembali sampai lapisan melamin kering
· Produk disimpan di gudang siap kirim
· Untuk kegiatan nomor 6 dan 7 dilaksanakan oleh 15 orang tenaga tetap
· Upah harian berkisar Rp.10.000,- sampai dengan Rp.25.000,- perhari dan dibayarkan setelah 1 minggu bekerja.
Sumber: Data Primer
Tabel 4
Proses produksi pada Industri mebel dari eceng gondok
No
Kegiatan
Keterangan
1
Mendisain /merancang produk
· Disain produk bisa dari eksportir atau pengusaha sendiri
· Disain produk perlu disepakati oleh pihak eksportir
2
Penyiapan bahan
· Papan dan balok kayu serta tripleks, sebagai kerangka dari mebel, paku, benang, lem, CO2 cair, obat anti jamur, cat atau bahan melamin, amplas dan sebagainya yang bisa dibeli di toko bahan atau lewat eksportir.
· Tali eceng dibeli dari pengepul di daerah Rawa Pening dengan harga Rp.6.250,- perkilogram
3
Pembuatan Pola Kerangka
· Berupa kerangka kayu untuk berbagai jenis model mebel, misalnya Arm Chair (AC), Kursi, Kursi Malas, Sofa type 2 Sitter, 3 Sitter dsb. ukuran sesuai permintaan
· Peralatan yang digunakan berupa, gergaji, bor, alat potong, alat semprot cat, dan lain-lain. Nilai totalnya adalah sebesar Rp.10 juta,-.
4
Pengamplasan kerangka
· Kerangka kayu yang telah disusun selanjutnya dihaluskan dengan cara mengampelas menggunakan mesin ampelas listrik
5
Desinfektan
· Untuk mencegah kerangka kayu dari serangan ngengat atau sejenisnya, maka diberi desinfektan
6
Penganyaman
· Melapisi kerangka kayu yang telah dibuat dengan cara menganyamkan tali eceng gondok.
· Bahan penolong yang digunakan berupa lem, paku, benang.
· Kegiatan ini dilakukan oleh sekitar 10 orang tenaga borong yang bekerja di tempat tinggal mereka masing-masing atau di workshop industri kecil.
· Upah borong tergantung dari besar kecilnya produk serta tingkat kesulitan pekerjaan. Mulai dari Rp.25.000,- sampai dengan Rp.65.000,- per unit.
· Untuk produk 1 set sofa 3 sitter memerlukan 32 kilogram tali eceng gondok.
· Pada proses ini pihak dari eksportir kadang-kadang bersama Buyer melakukan supervisi agar produk yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
7
Siap kirim kepada eksportir untuk proses lebih lanjut
· Jika kontrak hanya sampai dengan penganyaman tali eceng, maka Produk yang dihasilkan perajin masih dalam bentuk working in process siap dikirim ke eksportir
· Jika kontraknya sampai produk jadi, maka proses selanjutnya dilaksanakan oleh industri kecil yakni dengan meneruskan kegiatan 8 dan 9.
8
Penjemuran
· Dibersihkan dengan menggunakan CO2 cair untuk menghilangkan bercak hitam atau memutihkan anyaman tali eceng gondok.
· Disemprot dengan obat anti jamur
· Dijemur selama 8 jam
9
Proses Finishing
· Setelah dijemur, produk dibrongot dengan api untuk menghilangkan serat-serat yang terlepas dari anyaman tali
· Diberi warna sesuai dengan pesanan
· Diampelas dengan amplas yang halus dan disikat untuk menghilangkan bubuk pewarna.
· Dilapisi dengan melamin
· Dijemur kembali sampai lapisan melamin kering
· Produk disimpan di gudang siap kirim
Sumber: Data Primer
E. Eksportir
Tidak diragukan peran para eksportir sangat penting dalam kelanjutan industri dengan menggunakan komoditas eceng gondok. Keahlian mereka dalam menciptakan desain produk yang diminati oleh konsumen mancanegara merupakan kunci sukses mendampingi kekuatan manajemen yang baik serta modal yang cukup. Baik eksportir yang mengkhususkan diri mengekspor barang kerajinan tangan (handycraft) ataupun mebel harus mampu menciptakan produk-produk terbaik dengan harga yang bersaing apabila ingin tetap survive dan berkembang. Kelanjutan usaha para industri kecil dan perajin eceng gondok sangat tergantung dari order dari para eksportir ini.
Dalam kegiatan produksi, kebanyakan para eksportir ini melakukan kerjasama dengan para industri kecil dan perajin. Pada umumnya mereka hanya melanjutkan kegiatan pada butir 8 yaitu proses penjemuran dan 9 yakni proses finishing. Dan seperti pada industri kecil, yang lebih diutamakan adalah merancang atau mendisain produk sesuai permintaan buyer dari mancanegara.
Ketika produk akan dinaikkan ke dalam peti kemas (container), maka sebelumnya barang-barang tersebut dikemas atau dibungkus dengan kertas karton dan diikat agar tidak lecet atau rusak ketika berada dalam pengangkutan.
Kegiatan proses produksi yang dilakukan salah satu eksportir mebel di Kabupaten Sukoharjo dilaksanakan oleh 17 orang pegawai tetap terutama untuk kegiatan proses penjemuran dan finishing produk setengah jadi atau working in process. Upah yang diberikan berkisar antara Rp.15.000,- sampai dengan Rp.25.000,- per orang per hari.
Dalam kegiatan produksi di setiap tingkatan mulai dari petani sampai dengan eksportir tidak ada kendala mengingat semua proses produksi dapat dilakukan dengan mudah. Di samping itu peralatan produksi yang dipakai adalah alat-alat yang mudah digunakan dan mudah dibeli di toko-toko setempat. Demikian pula bahan baku dan bahan penolong, menggunakan bahan-bahan lokal yang bisa dibeli dengan mudah.
IV. ASPEK KEUANGAN
Kemampuan untuk survive atau berkembangnya suatu usaha tidak lepas dari kemampuan pengusahanya dalam mengelola keuangan perusahaannya. Setiap rupiah uang yang berhasil dihimpun digunakan untuk pembiayaan dalam operasional usaha secara tepat guna dan berdaya guna. Manajemen keuangan yang sederhana yang diterapkan oleh pelaku usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas mampu melestarikan kelanjutan usahanya.
Dari beberapa usaha yang disurvei, ternyata ada yang telah menggunakan kredit bank, namun masih ada juga yang menggunakan modalnya sendiri tanpa bantuan kredit dari bank.
Untuk mengetahui kemampuan dari setiap usaha ini mulai dari petani sampai eksportir, akan dilakukan analisis terhadap aspek keuangannya. Dalam melakukan analisis aspek keuangan ini diawali dengan menetapkan berbagai asumsi yang berhubungan dengan aspek pemasaran dan aspek teknis produksi sebagaimana telah diuraikan di atas. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebutuhan dana baik untuk modal kerja maupun investasi setiap kegiatan dalam usaha tersebut. Diteruskan dengan perkiraan proyeksi laba rugi serta arus kas usaha.
Dengan mengetahui hasil analisis keuangan ini termasuk di dalamnya net present value (NPV) dari setiap rupiah yang diperoleh pada masa datang, berapa lama masa payback periodnya, berapa besar tingkat benefit & cost rationya maka prospek pembiayaan usaha ini dikemudian hari akan dapat diketahui.
Bagi bank, analisis aspek keuangan ini akan menunjukkan seberapa besar kemampuan menabung oleh usaha tersebut dikaitkan dengan potensi kredit serta tingkat suku bunga yang bisa diberikan dalam kegiatan usaha ini.
Bagi investor baru yang ingin terjun pada usaha ini akan dapat mengetahui seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari dana yang diinvestasikan dalam kegiatan usaha.
Asumsi Dasar
Asumsi dan parameter yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 5
Asumsi Dasar
No
Asumsi
A.
Aspek Pasar
1. Untuk masa depan, permintaan produk dianggap konstan dalam jangka waktu 5 tahun yang merupakan umur ekonomis proyek
2. Pertumbuhan jenis usaha yang sama diperhitungkan tidak ada (0%), atau tingkat persaingan besarnya tetap sama, sehingga volume produksi maupun penjualan dapat dipertahankan.
3. Tingkat persaingan di antara pelaku usaha sejenis tidak saling menjatuhkan harga jual produk
4. Produk untuk perhitungan analisis diambil contoh 1 jenis dengan permintaan terbanyak
5. Tidak ada peraturan yang mengurangi kebebasan berusaha
B.
Aspek Teknis & Produksi
1. Persediaan tanaman eceng gondok tidak berkurang dan lahan tempat bertumbuhnya tidak tercemar limbah industri dan sampah
2. Kemudahan dalam penyediaan sarana produksi masih dapat terjamin
3. Harga pembelian sarana produksi diperhitungkan adanya kenaikan sebesar 5 % pertahun
4. Kerjasama produksi mulai dari petani, perajin, pengepul, industri kecil dan eksportir setidaknya bisa dipertahankan seperti saat ini
5. Tidak ada gangguan terhadap kegiatan produksi yang disebabkan adanya kerusuhan, demonstrasi
C.
Aspek Keuangan
1. Diperhitungkan adanya kenaikan harga jual produk dan biaya produksi rata-rata 5 % pertahun yang dipengaruhi inflasi.
2. Sukubunga kredit perbankan tidak naik dan diperhitungkan sebesar 1,5% perbulan menurun
3. Tidak ada penundaan pembayaran di antara pelaku usaha tersebut di luar kebiasaan yang selama ini terjadi.
4. Komposisi dana yang berasal dari modalnya sendiri dibanding dengan kredit bank tergantung kemampuan masing-masing usaha.
Kebutuhan Dana
Setiap usaha membutuhkan dana yang dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan pembiayaan, yaitu biaya Investasi dan biaya untuk operasional usaha.
Biaya investasi merupakan kelompok biaya untuk memenuhi kebutuhan pengadaan fisik usaha seperti: lahan/tanah, bangunan, mesin dan peralatan, kendaraan untuk transportasi, perijinan usaha yang secara akuntansi dimasukkan dalam pos-pos harta tetap yang umur ekonomisnya lebih dari 1 (satu) tahun. Sedangkan biaya operasional yang juga disebut modal kerja merupakan komponen biaya untuk pembelian bahan baku, bahan penolong, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik (termasuk di dalamnya biaya listrik, pemeliharan dan penyusutan), biaya administrasi dan umum, biaya pemasaran, bahan bakar untuk transportasi.
Dalam analisis aspek keuangan kedua kelompok biaya ini dimasukkan sebagai dana atau investasi awal pada tahun ke-0 (nol). Di dalam proyeksi arus kas pada tahun ke lima atau tahun terakhir, sisa nilai buku dari harta tetap dan nilai modal kerja seluruhnya diperhitungkan sebagai salvage value yang menambah pos penerimaan usaha.
1. Biaya Investasi
a. Petani eceng gondok
Untuk seorang petani pengambil eceng gondok di rawa hanya memerlukan biaya investasi sebesar Rp.250.000,- untuk pembelian atau pembuatan sebuah perahu kayu dengan dayung. Di daerah Rawa Pening Ambarawa terdapat seorang pengepul yang memberikan pinjaman kepada petani untuk pengadaan perahu tersebut. Hal ini merupakan potensi bagi BPR untuk memberikan kredit kepada kelompok petani dengan ketua kelompoknya adalah pengepul eceng.
Dengan asumsi seperti di atas, maka diharapkan sumber dana untuk biaya investasi ini berasal dari kredit BPR sebesar Rp.200.000,- dan modal dari petani sebesar Rp.50.000,-
b. Perajin Tali
Perajin tali tidak membutuhkan biaya investasi, mengingat alat produksi (penggulung tali) yang digunakan hanya berupa potongan kayu yang diperoleh dari kayu bekas bangunan atau batang pohon.
c. Pengepul
Pada tingkat ini, kebutuhan biaya investasi digunakan untuk membeli sebuah timbangan gantung dengan harga beli sebesar Rp.250 ribu,- untuk menimbang tali dan eceng gondok basah. Dalam analisa usaha di tingkat pengepul diusulkan alternatif pengembangannya dengan pengadaan 1 unit truk dengan kapasitas angkut 4-5 ton seharga Rp.150 juta,-. Truk ini dapat digunakan mengangkut 8 ton eceng gondok basah dalam 2 rit perhari dengan trayek Rawa Pening – DI Yogyakarta (jarak sekitar 110 kilometer). Kembali dari Yogyakarta truk tersebut dapat digunakan untuk mengangkut pasir Muntilan yang dijual di Semarang dan sekitarnya. Dengan demikian pengepul ini akan mendapatkan hasil pokok berupa penjualan eceng gondok dan hasil tambahan yang berasal dari penjualan pasir Muntilan.
Dengan asumsi seperti di atas, jumlah investasi Rp.150.250.000,-, dan sumber dana untuk biaya investasi berasal dari kredit bank sebesar Rp.100.000.000,- dan dari modalnya sendiri sebesar Rp.50.250.000,-.
d. Industri Kecil
Untuk analisa usaha dari industri kecil diambil salah satu contoh industri kecil kerajinan tangan yang berada di Kabupaten Bantul.
Biaya investasi untuk 1 unit usaha di tingkat industri kerajinan meliputi pengadaan:
Tabel 6
Investasi pada Industri Kecil Kerajinan
No
Jenis Investasi
Nilai (Rp)
1
Lahan untuk workshop dan tempat jemur (1.000 m2)
150.000.000
2
Bangunan workshop semi permanen (500 m2)
150.000.000
3
Berbagai alat produksi (gergaji, bor, pemotong dsb)
20.000.000
4
Kendaraan pickup (2 unit)
80.000.000
Jumlah
400.000.000
Dana sebesar tersebut di atas bersumber dari modalnya sendiri karena selama ini belum pernah menggunakan kredit dari bank. Jumlah tersebut merupakan revaluasi harta tetap berupa tanah yang dimiliki dari pihak keluarga, di samping itu juga dari hasil pemupukan modal dari hasil kegiatan usaha.
Namun apabila diasumsikan bahwa nilai di atas merupakan investasi baru dengan modal sendiri sebesar Rp.300 juta (nilai tanah dan bangunan), maka diperlukan kredit dari bank sebesar Rp.100 juta.
e. Eksportir
Untuk usaha yang akan dianalisis di tingkat eksportir diambil salah satu contoh eksportir mebel di Desa Trangsan – Kabupaten Sukoharjo. Pada saat ini investasi yang dimiliki perusahaan berupa:
Tabel 7
Investasi pada Usaha Eksportir
No
Jenis Investasi
Nilai (Rp)
1
Lahan untuk workshop, gudang dan tempat jemur (2.000 m2)
600.000.000
2
Bangunan workshop dan gudang permanen (1200 m2)
600.000.000
3
Berbagai alat produksi (gergaji, bor, pemotong dsb)
40.000.000
4
Kendaraan pickup (2 unit)
Truk kapasitas 4 ton (1 unit)
80.000.000
120.000.000
Jumlah
1.440.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Sumber dana sebesar tersebut di atas termasuk revaluasi nilai tanah yang telah dibeli dan berasal dari pemupukan modal dari hasil usaha. Selama ini belum pernah mendapatkan kredit dari bank. Namun jika dianggap suatu investasi baru dengan dana sendiri digunakan untuk membeli tanah dan bangunan sebesar Rp.1.200juta, sisanya diasumsikan berasal dari kredit bank sebesar Rp.240 juta.
2. Biaya Operasional / Modal Kerja
Untuk suatu kegiatan usaha diperlukan modal kerja yang digunakan untuk membiayai operasional usaha. Meskipun disebut modal kerja tidak berarti hanya bersumber dari dana sendiri, namun bisa berasal dari kredit bank atau lainnya. Berdasarkan kaidah akuntansi yang berlaku fungsi dari modal kerja adalah untuk membiayai semua kegiatan usaha yang memenuhi masa/periode pemakaian kurang dari 1 (satu) tahun.
Kebutuhan modal kerja minimum tergantung dari berapa lama perputaran uang kas dari setiap usaha, sejak uang dikeluarkan hingga diterima kembali dalam bentuk kas.
Setiap usaha memiliki karakteristik tersendiri, sehingga kebutuhan modal kerjanyapun berbeda-beda sebagai berikut:
a. Petani
Dalam kegiatan sehari-hari petani eceng gondok tidak memerlukan modal kerja. Hal ini disebabkan proses panen eceng gondok hanya perlu waktu 9-10 jam, dan petani langsung memperoleh uang dari hasil penjualan eceng kepada pengepul pada hari itu juga. Meskipun demikian untuk analisis keuangan tetap diperhitungkan adanya modal kerja berupa gajinya sendiri sebesar Rp.700.000,-/ bulan.
b. Perajin Tali
Proses produksi untuk membuat tali eceng gondok diawali dengan penjemuran eceng selama 4 hari. Kemudian dilanjutkan dengan mengelabang eceng kering menjadi tali perlu waktu 1 hari untuk mendapatkan 2 kilogram tali. Pembayaran dari pengepul kepada perajin tali ditunda selama 15 hari. Sehingga total periode putaran uang adalah 20 hari. Adapun untuk memproduksi 2 kilogram tali dibutuhkan 24 kilogram eceng gondok basah @ Rp.150,-/kilogram. Dengan demikian setiap perajin tali membutuhkan modal kerja sebagai berikut:
Pembelian bahan baku = 24 kg x 20 hari x Rp.150,- = Rp.72.000,-. Sumber dana sebesar tersebut bisa berasal dari kredit BPR.
c. Pengepul
Kemampuan pengepul membeli eceng gondok dari petani diperhitungkan sebanyak 8.000 kilogram @ Rp.150,-/kilogram. Eceng gondok basah tersebut langsung dikirim dalam 2 (dua) kali pengiriman perhari kepada usaha kecil di Bantul- Yogyakarta, dengan jangka waktu pembayaran 7 hari. Agar truk tersebut lebih berdaya guna, maka sekembalinya dari Yogyakarta ke Ambarawa dapat dimanfaatkan mengangkut pasir dari Muntilan. Untuk kegiatan-kegiatan tersebut diperlukan modal kerja sebagai berikut:
Tabel 8
Kebutuhan Modal Kerja UsahaPengepul
Pembelian Enceng
7x8000xRp150
8.400.000
Pembelian Pasir
2ritxRp.225.000
500.000
Upah muat
4 ritxRp.40.000
160.000
Upah bongkar
4 ritxRp.30.000
120.000
Upah pengemudi
2 ritxRp.100.000
200.000
Biaya Operasional
1 x Rp.7.600.000
7.600.000
Jumlah
16.980.000
Sumber: Data Primer diolah
Modal kerja sebesar tersebut di atas diperkirakan berasal dari kredit bank sebesar Rp.10juta dan modalnya sendiri sebesar Rp.6.930.000.
d. Industri Kecil
Industri kecil kerajinan yang langsung membeli eceng gondok basah dari pengepul serta memperoleh order dari eksportir memerlukan modal kerja untuk pembuatan keranjang pakaian sebanyak 2.000 set. Untuk 1 set keranjang memerlukan 8 kilogram eceng kering. 2 lembar papan kayu sungkai atau albizia.
Tabel 9
Kebutuhan Modal Kerja Industri Kecil Kerajinan
Eceng basah
2000x8x12xRp237.5
45.600.000
Upahpengeringan
2000x96xRp30
5.760.000
Upah pembuatan tali
2000x8xRp.2.500
40.000.000
Papan Kayu
2000x2xRp1.500
6.000.000
Upah pembuatan kotak kayu
2000xRp.2.500
5.000.000
Upah menganyam kotak kayu
2000xRp.15.000
30.000.000
BahanFinishing
2000xRp.5.000
10.000.000
Upah Finishing
2000xR.5.000
10.000.000
BiayaUmum pabrik
6.000.000
Biaya Operasional
4.000.000
Jumlah
162.360.000
Sumber:Data Primer diolah
Dari jumlah biaya operasional tersebut, pengusaha memperoleh uang muka sebesar: 30%x 2000xRp.100.000 = Rp.60.000.000,- dari eksportir. Di mana harga jual keranjang kepada eksportir adalah Rp.100.000,- per set. Nilai tersebut merupakan bagian dari modalnya sendiri sebesar Rp.62.360.000.
Dengan demikian potensi kredit yang dapat diberikan kepada pengusaha industri kecil kerajinan sebesar Rp.100juta.
Order keranjang pakaian sebanyak 2000 set tersebut dapat diselesaikan dalam waktu 2 bulan.
e. Ekportir
Pada saat ini pembelian dari Buyer mancanegara mencapai 3 kontainer per bulan dengan nilai rata-rata mencapai Rp.90 juta per kontainer. Jumlah mebel per kontainer mencapai 200 unit. Dengan demikian selama 1 bulan jumlah unit yang diproduksi minimal mencapai 600 unit.
Biaya operasional termasuk biaya produksi produksi untuk 600 unit mebel adalah sebagai berikut:
Tabel 10
Kebutuhan Modal Kerja Usaha Eksportir
Bahan baku & penolong
600xRp120.000
72.000.000
Upah Tukang
600xRp60.000
36.000.000
B.Umum Pabrik
3.000.000
Pengangkutan
3xRp20.000.000
60.000.000
Biaya Umum
30.000.000
Jumlah
201.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Jumlah tersebut di atas merupakan modal kerja yang diperlukan selama 1 bulan. Biasanya eksportir mendapat uang muka dari buyer sebesar 30% dari nilai order yakni sebesar= 30% x Rp.270.000.000 = Rp.81.000.000,-. Berarti kekurangan modal kerja sebesar Rp.120.000.000,- diasumsikan akan dipenuhi dari kredit bank.
Struktur Dana
Dari prakiraan kebutuhan dana baik untuk investasi maupun modal kerja di atas dapat diringkas struktur dana masing-masing usaha sebagai berikut:
Tabel 11
Struktur Dana
Usaha
Investasi
Rp.juta
Modal
Kerja
Rp.juta
Modal
Sendiri
Rp.juta
Kredit
Invest.
Rp.juta
Kredit
M.Kerja
Rp.juta
Petani
0,25
0,7
0,75
0,2
0
Perajin
0
0,072
0
0
0,072
Pengepul
150,25
16,93
57,18
100
10
Ind.Kecil
400
162,36
362,36
100
100
Eksportir
1.440
201
1281
240
120
Sumber: Data primer diolah
Dihubungkan dengan populasi petani dan perajin serta pengepul yang ada di daerah Rawa Pening dan diasumsikan setiap pelaku usaha yang sejenis memperoleh kredit dalam jumlah yang sama, maka potensi kredit yang bisa diberikan kepada kelompok usaha di daerah Rawa Pening adalah:
Tabel 12
Potensi Kredit
Pelaku
Usaha
Populasi
Kredit
Investasi
Kredit
Modal kerja
Petani
45
9.000.000
0
Perajin
300
0
21.600.000
Pengepul
9
900.000.000
90.000.000
Sumber: Data Primer diolah
Meskipun populasi dari industri kecil kerajinan di Yogyakarta dan industri kecil mebel di Kabupaten Sukoharjo belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan mencapai belasan unit. Jika setiap industri kecil memerlukan kredit rata-rata sebesar Rp.200 juta, maka potensi kreditnya bisa mencapai jumlah yang besar.
Adapun skim kredit yang digunakan dalam perhitungan analisis keuangan dari setiap jenis usaha diperlakukan sama yakni:
Tabel 13
Skim Kredit
Jenis Penggunaan
Jangka Waktu
Tingkat Sukubunga
Masa Tenggang
Cara Pembayaran Angsuran Pinjaman
Modal Kerja dan Investasi
Masing-masing 5 tahun
18% pertahun - menurun
Tidak ada
Pembayaran Pokok pinjaman dan bunga secara bulanan.
Dalam analisa keuangan besarnya angsuran dihitung secara tahunan.
Besarnya angsuran pokok pinjaman, adalah tetap. Sedangkan besarnya bunga dihitung dari sisa pokok pinjaman tahun sebelumnya.
Proyeksi Laba/Rugi Usaha
Dari kegiatan yang dijalani, setiap unit usaha mempunyai kemampuan menghasilkan laba yang berbeda dan terlihat mampu membayar angsuran dan bunga pinjaman yang menjadi kewajibannya masing-masing. Laba bersih (setelah dikurangi nilai bunga dan pajak) yang dihasilkan setiap jenis usaha pada tahun pertama dibandingkan dengan pembayaran angsuran pokok pinjaman adalah sebagai berikut:
Tabel 14
Perbandingan antara Angsuran Pinjaman dengan Laba
Jenis Usaha
Laba
Rp.
Angsuran
Rp.
Rasio Ang/Laba (%)
Petani
5.405.000
40.000
0,74
Perajin Tali
167.000
44.000
26,35
Pengepul
41.570.000
22.000.000
52,92
Industri Kecil
128.224.000
40.000.000
31,2
Eksportir
542.310.000
72.000.000
13,28
Dengan melihat rasio angsuran pokok pinjaman dengan laba bersih setiap usaha, maka untuk petani jangka waktu pengembalian pinjaman bisa dipendekkan menjadi 1 (satu) tahun. Sedangkan untuk eksportir bisa menjadi 2 (tahun), sementara itu untuk perajin tali, pengepul dan industri kecil tetap 5 (lima) tahun demi kelangsungan usaha.
Dari proyeksi laba/rugi juga dapat diketahui profitabilitas setiap jenis usaha yang dihitung dari rata-rata laba sebelum pajak pertahun dibagi dengan rata-rata penjualan pertahun, sebagai berikut:
Tabel 15
Laba,Penjualan dan Profitabilitas
Jenis Usaha
Laba pertahun
Rp.
Penjualan pertahun
Rp.
Profitabilitas (%)
Petani
6.310.600
15.665.200
40,28
Perajin Tali
214.800
3.481.200
6,17
Pengepul
62.670.200
946.872.200
6,62
Industri Kecil
185.581.000
1.392.459.000
13,33
Eksportir
901.410.400
3.759.639.600
23,98
Analisa Kelayakan Usaha
Untuk memastikan apakah suatu usaha itu layak diteruskan atau tidak perlu dibiayai, sangat tergantung dari prospek masa datang usaha tersebut.
Masa depan suatu usaha tidak satupun yang bisa memastikan, namun masa depan hanya bisa diestimasikan. Untuk mengestimasikan masa depan hal yang perlu diperhatikan adalah dalam penetapan berbagai asumsi yang realistis, baik asumsi mengenai kondisi pasar, aspek teknis serta aspek lainnya. Setelah asumsi-asumsi yang didasarkan dari pengalaman yang terjadi saat ini telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis aspek keuangan dengan memperhitungkan adanya perubahan nilai uang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pengurangan nilai uang dalam manajemen keuangan disebut Discounted Factor.
Perangkat analisis terhadap kelayakan aspek keuangan adalah:
1. Net Present Value (NPV)
Adalah suatu suatu metode penilaian investasi dengan mendiskontokan aliran kas di masa depan dengan suatu discounted factor tertentu yang merefleksikan biaya kesempatan modal. NPV diperoleh dengan cara mengurangkan semua pengeluaran investasi awal dengan aliran kas bersih di masa depan yang dinilai sekarang (present value). Apabila diperoleh nilai NPV positif, maka dapat dikatakan bahwa proyek yang dinilai layak dibiayai atau diteruskan. Jika nilai NPV negatif, maka proyek tidak layak.
Dari rencana proyeksi arus kas masing-masing usaha selama 5 (lima) tahun, diperoleh hasil perhitungan NPV dengan tingkat sukubunga 18% pertahun, sebagai berikut:
Tabel 16
Net Present Value (NPV)
Jenis Usaha
NPV (Rp.)
Petani
15.176.000
Perajin Tali
489.000
Pengepul
123.406.000
Industri Kecil
210.406.000
Eksportir
1.001.864.000
Hasil NPV tersebut adalah positif, artinya setiap usaha layak diteruskan dan dapat diberi kredit dengan tingkat suku bunga kredit 18% pertahun.
2. Internal Rate of Return (IRR)
Adalah suatu ukuran yang akan membandingkan nilai IRR dengan tingkat bunga atau tingkat keuntungan dari suatu investasi. IRR diperoleh pada suatu posisi di mana nilai NPV= nol.
Jika diperoleh nilai IRR lebih besar dari tingkat sukubunga bank, maka proyek ini layak diberikan kredit dengan sukubunga tersebut. Sebaliknya jika IRR lebih kecil dari sukubunga bank, maka proyek tidak layak.
Selanjutnya dalam perhitungan IRR ini juga dilakukan suatu analisis sensitifitas dalam upaya mengantisipasi adanya perubahan pendapatan atau pengeluaran. Analisis sensitifitas ini dilakukan dengan 2 (dua) kondisi, yaitu:
· Penerimaan tetap seperti rencana, tetapi pengeluaran bertambah sebesar 5 %. Dari kondisi ini diperoleh IRR-S1
· Pengeluaran tetap seperti rencana, tetapi penerimaan berkurang 5 %. Dari kondisi ini diperoleh IRR-S2.
Dari arus kas selama 5 tahun yang direncanakan, maka diperoleh nilai IRR, IRR-S1 dan IRR S-2 masing-masing usaha, yaitu:
Tabel 17
Internal Rate of Return
Jenis Usaha
IRR
IRR-S1
IRR-S2
Petani
582,92%
537,21%
508,3%
Perajin Tali
97,26%
28,82%
23,88%
Pengepul
50,7%
21,74%
17,98%
Industri Kecil
32,81%
21,98%
20,1%
Eksportir
41,72%
32,56%
30,28%
Dari perolehan IRR tersebut setiap usaha layak diberikan kredit dengan tingkat sukubunga 18% pertahun, meskipun terdapat kemungkinan berkurangnya penjualan atau bertambahnya biaya-biaya pengeluaran. Dari IRR sensitifitas dapat diperkirakan bahwa usaha dari Perajin Tali dan Pengepul sangat sensitive terhadap perubahan harga, yang ditengarai dengan perubahan IRR yang cukup besar. Oleh karena itu disarankan perlu adanya pemantauan secara rutin dari bank yang memberikan kredit kepada usaha perajin tali dan pengepul.
Sebagaimana dipahami, pemberian kredit kepada suatu usaha mempunyai resiko di dalam pengembalian kreditnya, karena adanya ketidak pastian di masa depan.
Semakin lama jangka waktu kredit maka semakin besar resikonya. Semakin singkat jangka waktu kredit semakin kecil resiko yang dihadapi bank. Dalam menentukan jangka waktu kredit, sebaiknya bank tetap memperhatikan kemampuan calon debitur. Karena semakin singkat jangka waktu kredit, maka debitur harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar angsuran pokok pinjaman beserta bunganya pada suatu periode tertentu. Untuk itu dengan melihat lamanya periode pengembalian investasi yang disebut dengan Payback Period serta likuiditas keuangan usaha debitur, maka pihak bank bisa memprediksi jangka waktu pengembalian kredit dan bunganya. Dari proyeksi arus kas akan dapat diketahui payback period serta kemungkinan lamanya jangka waktu kredit dari masing-masing usaha sebagai berikut di bawah.
Tabel 18
Payback Period
Jenis Usaha
Payback Period
Jangka Waktu Kredit
Petani
2 bulan
6 bulan
Perajin Tali
13 bulan
24 bulan
Pengepul
22 bulan
24 bulan
Industri Kecil
34 bulan
36 bulan
Eksportir
28 bulan
36 bulan
Setelah memprediksi jangka waktu kredit, langkah selanjutnya perlu memperhatikan likuiditas keuangan yang dapat dilihat dari posisi Kas Akhir pada tahun bersangkutan dalam proyeksi arus kas dengan merubah jangka waktu kredit. Apabila posisi kas akhir tersebut lebih besar dari modal kerja permanen, maka kredit dengan jangka waktu tersebut dapat direalisasikan. Dari simulasi perubahan jangka waktu kredit, maka diperoleh kondisi keuangan setiap usaha sebagai berikut:
Tabel 19
Hasil Simulasi Perubahan Jangka Waktu Kredit
Usaha
Jk.Waktu Kredit
Kas Akhir
Rp000
Modal Kerja
Rp000
IRR
Petani
1 th
5.955
700
583%
Perajin
2 th
364
222
97,1%
Pengepul
2 th
62.868
16.930
50,2%
Ind.Kecil
3 th
477.000
162.360
32,5%
Eksportir
3 th
1.832.074
201.000
41,5%
Dari tabel tersebut di atas terlihat, bahwa dengan memperhitungkan jangka waktu kredit diperoleh nilai kas akhir pada tahun bersangkutan ternyata masih lebih besar dari kebutuhan modal kerja permanen. Di samping itu nilai IRR setiap usaha juga lebih besar dari bunga kredit, maka bisa disimpulkan jangka waktu kredit yang diberikan untuk setiap usaha bisa digunakan.
V. ASPEK SOSIAL EKONOMI & DAMPAK LINGKUNGAN
Aspek Sosial Ekonomi
Keberadaan usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas menimbulkan efek positif terhadap aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar usaha-usaha tersebut.
Di daerah Rawa Pening yang pada awalnya mata pencaharian penduduknya adalah petani ikan, padi, palawija dan buah-buahan, dengan adanya usaha pemanfaatan eceng gondok, maka pendapatan mereka semakin bertambah. Demikian pula para wanita yang semula hanya sebagai ibu rumahtangga, dengan adanya proyek ini peranannya semakin bertambah yakni mampu memproduksi tali eceng gondok yang menghasilkan tambahan pendapatan.
Di daerah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya, para pengusaha industri kecil kerajinan maupun industri kecil mebel mampu menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat di sekelilingnya. Secara langsung telah meningkatkan pendapatan masyarakat.
Para eksportir di Yogyakarta maupun Surakarta merupakan pelaku usaha yang selain mampu menciptakan kesempatan kerja, juga mampu mengajak para industri kecil dan pekerjanya untuk bekerja dengan rajin dan semangat tinggi dalam menciptakan produk yang berkualitas tinggi sesuai permintaan konsumen di mancanegara. Perubahan positif terhadap aspek sosial ekonomi ini akan semakin meningkat apabila pihak perbankan dapat berperan mengembangkan usaha-usaha tersebut baik dalam pemberian kredit yang tepat guna maupun bantuan teknis lainnya.
Aspek Dampak Lingkungan
Eceng gondok di berbagai daerah seringkali dianggap sebagai masalah karena menutup saluran irigasi atau pembuangan yang mengakibatkan banjir.
Penggunaan eceng gondok sebagai bahan baku industri kerajinan dan mebel justru merupakan solusi terhadap masalah tersebut. Dengan memotong batang eceng gondok secara rutin dalam jumlah yang besar, maka pertumbuhan eceng gondok dapat terjaga. Dengan demikian daerah perairan akan terjaga dari bahaya banjir.
Industri kerajinan maupun mebel yang menggunakan bahan baku dari eceng gondok hanya memanfaatkan kayu dari pohon industri seperti sengon, sungkai yang mudah dibudidayakan dan tidak merusak lingkungan hutan. Di samping itu sisa bahan baku dari industri ini dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Dengan demikian ditinjau dari aspek dampak lingkungan, proyek ini justru berdampak positif.
VI. PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai penutup dari analisis terhadap usaha mikro, kecil dan menengah yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pelaku usaha yang memanfaatkan eceng gondok sebagai komoditas adalah “petani”, perajin tali, pengepul, industri kecil kerajinan dan mebel serta eksportir kerajinan dan mebel.
2. Di Jawa Tengah “petani” yang memanen eceng gondok berada di daerah Rawa Pening - Kabupaten Semarang, Kabupaten Purworejo serta Kabupaten Cilacap. Sedangkan industri kecil dan eksportir kerajinan tersebar di Kabupaten Bantul-Yogyakarta. Adapun industri kecil dan eksportir mebel dalam jumlah yang banyak berada di Kabupaten Sukoharjo.
3. Tanaman eceng gondok dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tali eceng gondok dalam bentuk klabangan atau kepangan dan juga ditenun. Selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kerajinan tangan dan mebel yang kuat dan artistik.
4. Produk berbahan baku eceng gondok yang terbanyak diminta oleh konsumen dari mancanegara dengan volume permintaan yang cukup banyak. Diperkirakan produk-produk ini masih banyak diminati konsumen mengingat produk sejenis yang berbahan baku rotan sudah semakin terbatas jumlahnya.
5. Ditinjau dari aspek teknis dan produksi, produk berbahan baku eceng gondok tidak ada kendala yang berarti mengingat kemudahan dalam penyediaan bahan baku. Di samping itu dalam proses produksinya cukup mudah dan dapat dikerjakan oleh perajin tanpa kesulitan.
6. Ketersediaan bahan baku secara jangka panjang, mendukung kelangsungan usaha ini.
7. Usaha-usaha yang terkait dengan eceng gondok ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
8. Dari aspek keuangan, setiap jenis atau tingkat usaha menunjukkan hasil yang layak untuk terus dikembangkan dan dibiayai oleh bank dengan tingkat sukubunga antara 18% s.d 20% pertahun. Kelayakan usaha ini bisa dilihat dari analisis Net Present Value (NPV) yang positif dan Internal Rate of Return (IRR) yang masih di atas tingkat sukubunga kredit bank.
9. Analisis terhadap aspek sosial, ekonomi dan dampak lingkungan menunjukkan hasil yang positif. Mengingat usaha-usaha ini mampu meningkatkan pendapatan masayarakat di sekelilingnya. Selain itu akan dapat memberikan penghasilan bagi pemerintah daerah dari pajak yang dihasilkan oleh usaha-usaha ini. Dengan pengambilan eceng gondok secara rutin, maka tingkat pertumbuhannya dapat dikendalikan, sehingga tidak akan menjadi pengganggu daerah perairan.
Saran
Untuk melengkapi tulisan ini dikemukakan berbagai saran dalam upaya mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai berikut:
1. Usaha-usaha yang menggunakan eceng gondok sebagai komoditas harus terus ditumbuh-kembangkan baik oleh pemerintah daerah maupun perbankan. Dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dalam pemberian perijinan serta perkreditan yang memadai.
2. Upaya mengikutsertakan pelaku usaha dalam pameran-pameran baik di dalam maupun luar negeri sebaiknya terus dilanjutkan agar produk berbahan baku eceng gondok semakin dikenal luas oleh konsumen dan meningkatkan volume permintaan.
3. Dalam memberikan kesempatan kerja, maka pola hubungan di antara pelaku usaha yang selama ini terjadi, sebaiknya tetap dipertahankan. Harus dijaga agar usaha berskala besar tetap memberikan kesempatan kepada industri kecil, pengpul, perajin dan “petani” menjalankan usahanya tanpa adanya intervensi.
4. Meskipun demikian, bagi pihak bank yang akan memberikan kredit kepada usaha-usaha ini dianjurkan untuk menciptakan suatu pola kemitraan di antara usaha-usaha tersebut. Pola kemitraan ini dibentuk dengan suatu tujuan untuk memastikan kelanjutan usaha dengan adanya suatu jaminan pasar yang jelas dari usaha di tingkat yang lebih besar.
5. Pemberian kredit kepada “petani”, perajin tali dan pengepul dapat menggunakan pola “Kredit Kelompok”, di mana Perjanjian Kredit ditandatangani oleh Ketua Kelompok yang diberi kuasa oleh para anggota kelompok. Untuk keamanan kredit, perlu ditegaskan kepada seluruh anggota kelompok adanya jaminan paripasu atau tanggung renteng yang menjadi kewajiban semua anggota. Pihak bank sebaiknya meminta kepastian pasar dari industri kecil berupa order pembelian secara tertulis kepada pengepul.
6. Pemberian kredit kepada industri kecil dan eksportir sebaiknya disertai dengan suatu Nota Kesepakatan di antara eksportir dengan industri kecil untuk menjamin kelangsungan pasar bagi industri kecil. Nota Kesepakatan tersebut mencakup tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang saling menguntungkan.